[caption caption="Ilustrasi gambar dari: hubpages.com"][/caption]Di ujung teras, aku sedang menggauli bab dua novel Orhan Pamuk berjudul “Namaku Merah Kirmizi”. Tapi niat melanjutkan petualangan ke Timur Tengah pada abad ke-14 dalam novel itu mesti kuurungkan dulu.
Airin, kekasihku, berulang tahun hari ini, dan sampai matahari hampir masuk ke peraduannya, aku belum menemukan inspirasi hadiah yang tepat untuknya. Bagaimanapun juga, hari ini begitu spesial, karena hanya akan datang empat tahun sekali.
Tiba-tiba seekor kodok melompati genangan air. Lamunanku jadi buyar dibuatnya. Kodok itu kini melotot, lalu mengedip-ngedipkan mata dengan genit. Aku melihat ke belakang, siapa tahu ada orang lain yang ada disini. Nihil. Kedipan itu memang untukku.
“Sudah selesai melamunnya?”
Aku terkejut, lalu menoleh ke sekitarku lagi. Tidak ada orang lain. Lalu siapa yang barusan berbicara? Lagi pula aku tidak melamun, aku sedang berpikir.
“Hei, aku yang bicara!”
Pandanganku tertuju pada kodok nyasar tadi. Sepertinya gema suara barusan berasal dari situ.
“Ya, aku!”
Ya ampun! Kodok itu memang bisa ngomong…
Belum hilang keterkejutanku dia berbicara lagi.
“Jadikan aku hadiah spesial untuk Airin. Bukankah dia selalu berkata ‘aku sering merasa sendiri’ setiap kali kamu bertugas berhari-hari di luar kota?”