[caption id="attachment_383978" align="aligncenter" width="637" caption="Bocah Pakistan. (tribune.com)"][/caption]
Kisah-kisah dramatis entah itu tragedi yang memilukan atau cerita heroik bukan hanya fiksi yang dihadirkan lewat layar kaca. Seringkali kisah-kisah ekstraordinari nan menggugah kalbu tersebut benar-benar terjadi disekitar kita.
Jangan pikir cerita tentang psikopat yang membabibuta membantai sesamanya cuma hadir di film-film saja. Kisah sejenis itu belum lama ini terjadi kembali di Peshawar, Pakistan Selasa lalu (16/12). Pasukan Taliban yang telah lama menjadi onak dalam daging di negara itu kembali beraksi dengan membantai 132 siswa dan sembilan orang guru di sekolah APS, Peshawar.
Sudah banyak media yang membahas peristiwa memilukan itu. Saya hanya ingin mengangkat satu dua keping kisah dramatis pada saat tragedi pembantaian tersebut terjadi dan mengajak kita untuk merenung bersama.
Kita mulai dengan menyebut nama seorang siswa kelas IX, Dawood Ibrahim, yang menjadi satu-satunya siswa yang selamat dari tragedi yang menewaskan seluruh kawan sekelasnya hanya karena pada pagi hari naas itu jam wekernya ngadat. Beruntung? Jawabannya sangat relatif. Para oportunis mungkin menjawab iya. Tapi siapapun yang terlibat dengan petaka semacam ini pasti akan merasa sebagai orang paling malang sedunia. Paling tidak Dawood tidak bisa merasakan lagi kegembiraan bersama kawan-kawan sekelasnya seperti dahulu. Lagipula seluruh teman sekelas meninggal secara sadis adalah pengalaman terburuk yang harus disimpan lekat-lekat dalam ingatan selama sisa hidupnya.
Lalu ada cerita dari siswa 13 tahun, Ehsan Elahi yang menjadi saksi mata detik demi detik memilukan saat pasukan Taliban datang menyergap dan dengan persenjataannya beratnya mengubah ruang belajar mereka menjadi lautan daging dan darah. Ehsan pun ikut terkena tembakan, tapi dia selamat karena berpura-pura mati di sudut ruangan dan harus menahan perih dan tangis selama kurang lebih 10 menit. Durasi 10 menit itu bisa menjadi sekat tipis antara kehidupan dan kematiannya. Pasalnya pasukan Taliban masih menembaki siapapun yang terlihat hidup atau menyisakan isak tangis diantara tumpukan jenazah tak berdosa di depan mereka.
Kisah lain yang menjadi inti permenungan kita adalah semangat kepahlawanan seorang guru perempuan bernama Afsha Ahmed (24 tahun) yang mempertaruhkan nyawa untuk menjadi tameng bagi murid-muridnya. Di tengah-tengah tragedi yang menyangkut nyawa, seringkali insting mengambil alih pikiran untuk memaksa kita keluar dari segala idealisme kita dan segera mencari cara menyelamatkan diri. Tapi lain cerita dengan Afsha yang disaat-saat kritis, justru berdiri gagah berani di depan para teroris untuk menghalangi mereka menyasar murid-muridnya.
Ibu guru yang lembut manis berubah menjadi setegar batu karang dan menantang para teroris dengan ucapan “"Kalian hanya bisa membunuh mereka setelah melewati mayatku." Sekalipun karena keberanian itu dia kemudian disirami bensin dan dibakar hidup-hidup oleh tentara Taliban. Irfan Ullah salah satu murid yang selamat, mengenang dengan sedih keberanian gurunya itu. Kendati dia ikut mengalami luka serius akibat musibah itu, dia berharap gurunya mau memaafkannya dan beberapa temannya yang pada saat-saat naas itu melarikan diri alih-alih mencoba menolong gurunya yang mengorbankan nyawa demi mereka.
Kisah-kisah pilu tersebut patut jadi materi permenungan buat kita. Sudah sejauh mana kita memaknai dan menghargai hakikat kemanusiaan kita? Mungkin saat ini kita sedang mengutuk kelaliman pasukan Taliban atau memuji kepahlawanan sang guru. Tapi sadarkah kita, sejatinya kita setiap saat bisa menjadi “Pasukan Taliban” atau “Afsha Ahmed Sang Guru”. Tidak perlu berpikir terlalu kompleks. Pada saat kita melakukan perbuatan-perbuatan tidak jujur yang bisa merugikan orang lain, bukankah kita telah ikut menjadi pasukan Taliban bagi sesama kita dengan merampas kehidupan mereka sedikit demi sedikit? Pada saat kita merusak nama baik orang lain, pada saat kita melanggar peraturan lalu lintas sehingga mencelakai orang lain, pada saat kita memecat bawahan hanya karena faktor like dislike, bukankah kita telah menjadi pasukan Taliban dengan cara kita sendiri?
Sebaliknya, seberapa sering kita sungguh menghayati panggilan hidup kita dan memaknainya sampai ke tingkat penghayatan tertinggi seperti yang sudah dilakukan Afsha Ahmed? Sudahkah kita berperan sebagai suami atau istri yang baik di rumah, sebagai pimpinan sudahkah kita menjadi pemimpin yang bertanggungjawab dan mengayomi? Apapun pilihan hidup kita, sudahkah kita memaknainya sebagai sarana mengabdikan diri kepada kebaikan sesama manusia?
Ini pertanyaan-pertanyaan reflektif bagi kita, termasuk juga saya sendiri. Pembantaian 141 orang yang baru-baru terjadi di Pakistan bisa menjadi pelajaran mahal untuk merenungkan sekali lagi kemanusiaan kita. (PG)
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H