Pical Gadi No. 100
Pagi menyapa Dahlia yang sedang melambungkan harapan manis ke atas embun-embun. Sembari membiarkan kicauan burung menari-nari di dalam gendang pendengarannya, matanya menatap lekat-lekat gambar Wahyu di layar tablet-nya.
Wahyu hampir tanpa ekpresi terkesan apatis, namun jika diperhatikan seksama, matanya tetap tidak bisa menyembunyikan pancaran ketulusan hati.
Pada pagi yang hampir sama tiga bulan lalu, Dahlia menemukan Wahyu “terkapar” pasrah di tengah taman. Memang dari keringat di wajah dan bisepnya bisa ditebak cowok itu lelah usai menyusuri jogging track beberapa putaran. Tapi orang yang berbaring telentang di atas kursi taman bukan pemandangan biasa. Yang melihatnya akan spontan berpikir, cowok itu sedang sakit. Setelah mendekat dan melihat cowok itu sedang cengar-cengir memandangi layar smartphone-nya baru ketahuan dia baik-baik saja.
Begitu pula reaksi Dahlia. Saat berlari dan mendekati kursi taman yang dipakai Wahyu berbaring, tatapan mereka bertubrukan. Dahlia yakin Wahyu baik-baik saja. Dia pun terus berlari menyusuri ruas-ruas jogging track.
Panjang jogging track yang mengitari taman kota itu kurang lebih 500-an meter, berbentuk angka delapan besar, dengan beberapa jalur jogging track yang lebih kecil di dalamnya. Namun Dahlia selalu mengambil jalur yang terluar. Lebih mudah menghitung putaran jogging-nya.
Setelah berlari satu putaran penuh, Dahlia kembali melewati kursi taman yang sama. Namun kali ini kosong. Cowok aneh itu sudah pergi, batin Dahlia.
Dia salah.
Setelah dua setengah putaran, dia rehat sejenak dengan berjalan santai sambil memilih channel radio FM dari gadget-nya. Wahyu tiba-tiba muncul di depannya dengan wajah lebih bersahabat.
“Mbak, boleh ambil gambarnya gak?”