Pernah, aku duduk di tepi meja jati
jemari lentik memapah jemari lentik lainnya hangatkan genggamanku.
Di bawah lampion merah maron,
wangi jasmin dari tubuhnya menyibak indra penciuman,
pendar lipgloss membingkai senyum manis
dan cahaya bintang-bintang bertebaran di matanya.
.
Ah, aneh rasanya
Aku ingin berada disitu seribu tahun lagi, sekaligus aku ingin meninggalkan tempat itu.
.
Seperti biasa, jus alpukat favorit kami diedarkan pelayan café.
Lalu kepingan harapan ditebarkan di atas cangkir berisi alpukat, cokelat dan susu.
.
“Mas, aku rela kok…..”
Kata-kata pamungkas yang menohok kewarasanku, menghempaskannya dalam sebuah labirin panjang bernama dilema.
.
Aku harus berhenti bermain-main dengan api cinta, sadarku
“Aku mencintaimu, jika memang kau menyebutnya cinta.
Tapi kita telah sampai di puncak perjalanan terlarang dan harus memilih, mengikuti takdir masing-masing atau bersama-sama jatuh ke dalam jurang yang tak mampu kita takar kedalamannya.”
.
Lalu detik-detik yang menyakitkan itu menjadi semakin getir saat dia membuncahkan tangis
Kata-kata getir
amarah
dan…..
tamparan….
Lalu aku kembali menyesap jus alpukat yang manis sambil memandangi pintu café dan pintu hati yang ditutupnya rapat-rapat.
.
Sore ini, aku kembali duduk di tepi meja jati, tak sendiri.
Jus alpukat favorit kami diedarkan pelayan café.
Di bawah lampion merah maron bocah belahan hati merajuk dipelukanku
dan wanita yang mendampingiku dalam sakit dan senang sedang tersenyum sumringah
meniupkan harapan dalam setiap kata-katanya.
.
Aku ingin berada di sini seribu tahun lagi, menyesap jus alpukat yang manis bersama malaikat-malaikat yang menemani kehidupanku.
_________________
ilustrasi gambar dari: buset-online.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H