Dulu waktu muda
aku menegar tengkuk menantang badai, api membara dalam jiwa.
Aku berpacu dengan matahari yang mengepakkan sayap  tembaganya dari balik koral dan tebing-tebing di barat
aku mengejar kebenaran sampai ke ujung malam sekalipun purnama hampir lelah menerangi ujung-ujung kakiku.
.
Aku seorang pesilat lidah, gemar membungkam generasi tua yang telah lama diracuni kemapanan
yang membiarkan otaknya disampahi kerak zaman dan mengisi lemak perutnya oleh kefasikan dan harta yang dilaknat Tuhan.
Aku adalah sosok yang selalu paling depan menyerukan pertumpahan darah melawan serigala yang haus darah rakyat.
.
Dulu waktu muda
aku adalah ksatria yang membangun istana-istana dari kepingan pragmatisme dan membentenginya rapat-rapat dengan idealisme.
Bahkan pedang musuh pun akan meleleh dan bedil-bedil diam membisu mendengar tajamnya orasi yang aku tiupkan dari nurani dan kesucian ideologi.
Dulu waktu muda...
.
Sayang tak akan datang dua kali masa itu
agar aku belajar setia saat jemari mulai menua, tulang-tulang merapuh dan suara yang lantang melirih dikikis peradaban.
Waktu tidak akan kembali saat rambut memutih, dan idealisme pergi diganti apatisme.
.
Dulu waktu muda aku mengutuk generasi tua bobrok
dan seperti dejavu,
saat menerima kutuk yang sama dari orang-orang muda masa kini.
Tebing dan batu karang kini telah berubah menjadi jeruji besi, orasi-orasi menohok berubah menjadi doa satir di ambang ajal.
.
Seperti berkaca pada masa lalu saat memandang orang-orang muda yang jiwanya dipenuhi api membara.
Aku harap mereka setia, agar tidak berujung kelam seperti aku dan masa tuaku.
_____________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H