[caption id="attachment_366619" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi/Kompasiana(KOMPAS.com/ Suparman Sultan)"][/caption]Eksistensi pangan adalah salah satu isu penting bagi kemanusiaan. Keprihatinan utama para pemerhati lingkungan adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kesadaran manusia untuk memelihara lingkungan. Padahal bumi kita ini tidak akan bertambah dimensinya.
Oleh karena itu PBB dalam hal ini FAO sejak puluhan tahun silam telah mengajak penduduk dunia untuk memberi perhatian bagi pelestarian lingkungan dan ketahanan pangan dengan menetapkan tanggal 16 Oktober sebagai Hari Pangan Sedunia. Perayaan yang diawali sejak tahun 1981 tidak lantas menjadi formalitas belaka. Hari Pangan Sedunia belakangan ini berkembang menjadi gerakan untuk merefleksikan kembali pentingnya eksistensi pangan dan menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Para aktivis lingkungan maupun berbagai organisasi ikut dalam gerakan ini dan memberikan penyadaran kepada masyarakat dengan caranya masing-masing dengan harapan semakin banyak orang yang memahami nilai-nilai dalam Hari Pangan Sedunia. Dengan penyadaran yang terus menerus diharapkan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan lingkungan hidup dan dirinya sendiri.
Konferensi Waligereja Indonesia sudah lama mengambil peran dengan menetapkan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) sebagai Komisi yang bertanggungjawab melakukan sosialisasi, animasi maupun kegiatan lain untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat khususnya umat Katolik mengenai Hari Pangan Sedunia. Tahun ini HPS mengambil tema “Pangan Sehat, Keluarga Sehat, Alam Lestari”.
Untuk menggalakkan HPS di tengah umat, tahun ini Komisi PSE Keuskupan Agung Makassar seperti Komisi PSE di Keuskupan lain membuat beberapa kegiatan seperti animasi, sosialisasi, camping petani, dan kegiatan lainnya. Saya pun ikut mengambil bagian mengisi paduan suara dalam Misa HPS di beberapa Paroki dalam kota Makassar tanggal 11-12 Oktober lalu. Dari homili (khotbah) yang disampaikan selama beberapa kali Misa tersebut oleh Ketua Komisi PSE Keuskupan Agung Makassar, saya pun membuat catatan kecil dan ingin membagikannya kepada pembaca sekalian.
Menghargai Pangan
Negara kita kaya akan aneka pangan lokal yang sebenarnya sudah lama dikonsumsi oleh nenek moyang kita. Selain beras yang sudah jadi pangan nasional, di beberapa daerah kita mengenal singkong, jagung, sagu dan aneka pangan lokal lainnya. Belakangan pangan lokal ini mulai bergeser digantikan oleh makanan impor dan makanan siap saji yang seringkali tidak sesehat pangan lokal ini. Ironinya, masyarakat merasa lebih hebat dan gengsi jika bisa menyantap makanan impor ini.
Padahal di negara-negara asalnya, makanan instant seperti ini disebut junk food oleh masyarakatnya. Aneh saja rasanya, kalau masyarakat lebih mengidolakan junk food dan menganggapnya bagian dari prestise. Selain sudah pasti lebih mahal, junk food juga dapat menganggu keseimbangan tubuh. Kebanyakan junk food bisa memicu aneka penyakit seperti penyakit kardio, overweight dan lain-lain. Banyak yang abai terhadap hal ini dan menyesal jika sudah jatuh sakit dan menghabiskan uang yang telah dikumpulkan bertahun-tahun untuk biaya pengobatan.
Marilah mulai menghargai pangan dengan kembali menyantap hasil bumi asli daerah kita sendiri. Selain membuat kita lebih sehat, kita juga ikut membangun para petani, pejuang pangan kita.
Solidaritas
Mahatma Ghandi pernah berkata kalau sebenarnya Tuhan sudah menciptakan alam ini sehingga hasilnya cukup untuk digunakan seluruh umat manusia. Yang membuat banyak manusia kekurangan adalah ada sebagian manusia lain yang menggunakannya berlebihan. Mereka adalah orang-orang yang tamak, serakah dan orang yang tidak peduli pada orang lain.
Salah satu cara memaknai petuah Ghandi ini adalah dengan menghargai pangan dan konsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan.
Mungkin kita tidak merasa bersalah saat menyisakan sebulir nasi di piring makan kita. Namun jika setiap orang yang mampu menyisakan sebulir saja, maka akan ada ribuan bahkan jutaan bulir nasi yang tersisa percuma. Padahal di belahan bumi lain, banyak orang yang menderita kelaparan. Itu kalau cuma sebulir, banyak orang yang membuang makanannya lebih banyak lagi. Inilah keprihatinan yang dimaksudkan Ghandi. Jika kita tidak memiliki kesempatan untuk bersolidaritas secara langsung melalui amal atau karya karitatif lainnya, kita bisa menunjukannya dengan memperlakukan pangan atau makanan dengan bijak dengan tidak membuang atau menyisakan makanan di meja makan kita.
Dengan demikian kita ikut bersolidaritas dengan sesama kita di belahan bumi lain sedang kekurangan.
Menghargai Tanah
Tanah mewakili lingkungan dan alam di sekitar kita. Pada beberapa ajaran agama, tanah juga punya makna teologi karena pada awal mula manusia diciptakan dari tanah dan akan kemballi ke tanah. Oleh karena itu, pada setiap perayaan HPS ajakan untuk menghargai tanah sering diulas secara mendalam.
Keprihatinan yang sedang dihadapi dunia modern ini adalah pertumbuhan penduduk yang membuat lahan untuk bercocok tanam semakin sempit. Selain itu, tanah yang digunakan untuk bercocok tanam dipaksa untuk produktif dengan memasukkan aneka pupuk kimia ke dalamnya. Dengan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, suatu saat tanah akan memasuki titik jenuh dan tidak bisa menghasilkan produksi lebih maksimal lagi dan pangan yang dihasilkan juga tidak sehat karena absorsi nutrisinya berasal dari produk kimia.
Oleh karena itu, momentum HPS ini digunakan untuk kembali mengingatkan kita semua khususnya petani dan orang-orang yang berkecimpung langsung dalam pengolahan tanah untuk mengurangi pemakaian pupuk atau pestisida kimia demi kelestarian tanah dan lingkungan. Sebenarnya teknologi dan inovasi untuk menggunakan pupuk dan pestisida organik sudah cukup dikenal di kalangan petani kita. Memang kadang biaya produksinya jadi lebih mahal. Tapi demi sebuah gerakan untuk melestarikan lingkungan, biaya ini layak dipertaruhkan.
Untuk itu beberapa organisasi non-pemerintah, termasuk komisi PSE aktif menguatkan jejaring pemasaran hasil bumi organik dari para petani kepada masyarakat umum agar produksi para petani organic ini mampu diserap oleh masyarakat. Ajakan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi pangan organik melalui momentum HPS ini adalah salah satu cara membangun jejaring tersebut.
Untuk masyarakat perkotaan, ajakan menghargai tanah lebih ditujukan kepada pola pikir dan perilaku untuk menunjang kelestarian lingkungan disekitar kita. Misalnya memanfaatkan tanah kosong di pekarangan untuk tempat menanam kembang, sayur, atau tanaman sejenis. Contoh perilaku lainnya misalnya tidak membuang sampah sembarangan, belajar membuat pupuk kompos dari sampah-sampah dapur, bahkan perilaku bijak menggunakan sumber daya alam seperti tidak membuang-buang air, dan hemat listrik juga termasuk dalam perilaku menjaga lingkungan ini.
Menghargai tanah adalah ajakan untuk menghargai alam dan memperlakukannya secara arif. Selain menjaga tempat kita hidup hari ini, kita juga sedang membangun deposit jangka panjang untuk tempat hidup anak cucu kita di masa mendatang.
****
Demikian catatan kecil menjelang Hari Pangan Sedunia yang puncaknya dirayakan esok hari, 16 Oktober. Mudah-mudahan bisa menginspirasi kita semua dan mengambil peran sesuai kapasitas kita. Sekecil apapun tindakan yang kita lakukan untuk kelestarian lingkungan, kita telah ikut berkontribusi membangun bumi yang lebih baik demi kehidupan kita masa kini, dan kehidupan anak cucu kita di masa mendatang. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H