Langit berselimut pekat kelabu
hingga hujan tetap betah berlagu
akhirnya jadi kolam lele sebagian kotaku
Sebagian lagi dilewati sungai baru
yang membelah persekolahan dan perumahan yang membisu
Membawa sebelah sendal jepit, spanduk caleg dan harapan yang membeku
Warga pun tertatih bergiat
Berarak cepat di tengah banjir yang meninggi menyengat
Menyelamatkan televisi, mini compo, kasur, dan patung tanah liat
Agar tidak ditelan deras amarah air coklat.
Bocah-bocah bermain, dan tertawa walau bibir putih memucat
Warga dewasa melawan lelah, membiarkan kulit disapu hujan dan keringat
Kameramen dan reporter cantik berdatangan
Mengajukan microphone untuk ditukar seupil ketenaran
Laskar berbendera partai pun bermunculan
Menawarkan pencitraan yang dibungkus sekeping bantuan
Tapi warga tak ingin meninggalkan pesan dan kesan
Memilih melenggang menenteng beban kehidupan
Kami sudah biasa dengan penderitaan
Menyambut banjir hanyalah ritual musiman.
Sebelumnya kami sudah ditempa dengan banyak cobaan
Saat kami kesulitan mencari makan, harga-harga merangkak ke bulan
Saat kami digerogoti kuman dan bakteri, kami diusir oleh pelayan kesehatan
Saat kami butuh kepastian, orang-orang di atas malah bermain drama picisan
Aku hanyalah penyair buta tuli
Di antara jutaan penyair yang memilih menulis dalam sepi
Dan menayangkan tulisannya lewat derap perjuangan di bawah matahari.
Banjir, tolong jangan cepat-cepat pergi
Biarkan aku memotret lebih banyak relung tragedi
dan menceritakannya kepada anak-anak negeri
Banjir, tinggallah sejenak lagi
Biar mereka tahu wong cilik itu masih tetap punya mimpi
Seperti orang yang menantang badai untuk melihat indahnya pelangi . (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H