Dalam sebuah ajang kompetisi, kalah dan menang sudah lumrah terjadi. Para pemenang dianggap sebagai pihak yang lebih unggul dan superior dibanding yang kalah. Masing-masing pihak pun mengekspresikan kemenangan atau kekalahan dengan caranya masing-masing.
Seringkali masalah terjadi pada pihak yang mengalami kekalahan. Mereka yang sportif bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Sebaliknya, yang tidak sportif akan meluapkan berbagai argumen dan polah tingkah pertanda mereka tidak menerima kekalahannya.
Republik kita yang tercinta baru saja mengadakan “kompetisi” politik, memungut suara dari segenap rakyat untuk mencari tahu siapa dan partai mana yang lebih unggul dibanding partai lainnya. Partai yg mendulang suara banyak boleh berbangga hati dan segera menyusun strategi berikutnya. Sementara partai yang perolehan suaranya tipis harus siap menerima kekalahannya. Strategi-strategi berikutnya tetap harus dipersiapkan.
Ada caleg yang sportif menerima kekalahan, tapi ada juga yang kurang sportif. Berakrobat dan mencak-mencak menyalahkan sistem. Ada kecurangan, ada politik uang, dan sekian alasan lain. Bahkan ada yang bersumpah di depan kamera TV kalau dia orang yang “bersih” selama Pileg ini. sementara caleg lain yang suaranya lebih banyak, dituding menggunakan politik uang. Seluruh pernyataan mereka bisa jadi benar, tapi bisa jadi juga salah selama belum ada bukti-bukti kuat yang diletakkan di depan hakim.
Yang menarik, ternyata kekalahan juga bisa membuat simpati pada tokoh partai seketika berbalik 540 derajat. Seperti yang terjadi pada Hary Tanoesodibjo (HT).
Siang tadi saya mampir di portal berita detik.com. Beberapa petinggi partai Hanura menuding jebloknya perolehan suara partai disebabkan ketua Bappilu (Badan Pemenangan Pemilu) mereka, HT, yang kerjanya tidak maksimal. Sejumlah strategi-strategi pemenangan partai yang sudah mereka putuskan tidak dijalankan secara konsisten. Salah satunya adalah pembayaran saksi-saksi partai sebesar Rp 100.000 per orang yang tidak terealisasikan.
Bahkan Wasekjen Hanura, Kristiawanto mengatakan ada baiknya HT mundur dari partai. “Dengan demikian, bappilu dipimpin HT harus tanggungjawab pada semua kader. Kalau perlu HT mundur. Balik ke habitatnya sebagai pengusaha. Kalau mau bersedekah, ya untuk bangsa. Jangan masuk ke politik tapi tidak mengutamakan kepentingan bangsa,” ucapnya sebagaimana dikutip detik.com.
HT memang orang “baru” dalam kancah perpolitikan Indonesia, jadi pasti banyak celah dan kealpaan yang dilakukannya. Tapi sebagai new guy, dia sudah diberi amanah cukup besar, menjadi ketua Bappilu dan digadang-gadang sebagai Cawapres partai. Ini memang sebuah loncatan besar dalam karir politik, yang jika tidak dikelola dengan baik bisa balik menjadi bumerang seperti yang dialami HT saat ini.
Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam internal partai. Inkompetensi memang harus diganjar setimpal, tapi apa solusi mundur dari Hanura adalah jalan terbaik untuk mengganjar HT? Entahlah.
Seorang pengusaha besar, Raja media seperti seorang HT pasti sudah banyak makan garam kehidupan dan persaingan bisnis yang tidak kalah sadisnya dengan dunia politik. Jadi mari kita asumsikan dia siap secara mental menerima perlakuan tersebut.
Tapi yang menjadi tanda tanya besar apa iya, HT yang bikin suara Hanura jeblok atau malah sebaliknya, HT-lah ikut mengangkat suara Hanura? Kalau memang HT biang keroknya memang mungkin mendepaknya adalah salah satu langkah taktis partai. Tapi kalau sebaliknya yang terjadi, Hanura sudah menyepah seseorang yang berjasa bagi mereka. Jadinya sama saja dengan Malinkundang. (PG)
Referensi:
HT dianggap biang jebloknya suara Hanura
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H