Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bagaimana Kolaborasi Jokowi-JK?

21 Mei 2014   18:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masyarakat menyambut hangat begitu nama Jusuf Kalla dipasangkan dengan Jokowi sebagai Capres-cawapres dari kubu PDI-P dan mitra-mitra koalisinya. Ada yang pro dan kontra. Wajar memang, mengingat dua tokoh ini punya rekam jejak yang khas serta sejumlah perbedaan. Perbedaan style, perbedaan karakter sampai perbedaan usia yang mencolok.

Namun bila dapat dikelola dengan baik, perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi kekuatan yang mendukung gaya kepemimpinan mereka.

Secara khusus, mari kita amati kepribadian mereka. Pada dasarnya manusia memiliki empat kepribadian dasar yaitu Koleris, Plegmatis, Sanguinis dan Melankolis. Setiap manusia memiliki empat elemen kepribadian ini, namun ada satu atau dua elemen kepribadian yang mendominasi kepribadian lainnya sehingga membentuk karakter khas manusia tersebut.

Jokowi adalah seorang Plegmatis-koleris. Saya pernah membahasnya secara khusus melalui salah satu tulisan di Kompasiana. Karakter dominan Plegmatisnya dapat dilihat dari gayanya yang tenang dan tidak grasa-grusu. Pandai menyembunyikan perubahan emosi. Humoris, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari konflik terbuka. Perpaduan dengan kepribadian koleris (kepribadian khas pemimpin) membuatnya menjadi seorang pemimpin yang memiliki etos kerja tinggi dan mampu menjalin relasi yang baik dengan bawahannya.

Sementara kepribadian JK adalah perpaduan antara seorang Sanguinis dan Koleris. Kombinasi kedua elemen kepribadian ini membuat seseorang menjadi sangat ekstrovert kuat, mereka supel sekali berinteraksi dengan siapapun apalagi dengan orang baru di dalam maupun luar komunitasnya. Gemar mengumbar kata-kata, kadang-kadang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling, dan mereka suka jadi pusat perhatian. Oleh karena itu orang Sanguinis-Koleris biasanya jago dalam pemasaran.

Secara garis besar keduanya memiliki kutub karakter yang berbeda. Tapi dengan kerja sama yang baik, Jokowi dan Jusuf Kalla dapat menjadi kolaborasi yang menarik. Duet plegmatis-koleris dan sanguinis-koleris sebenarnya telah kita lihat secara langsung pada duet Jokowi-Ahok selama memimpin DKI. Ahok juga seorang dengan kombinasi kepribadian Koleris dan Sanguinis.

Jadi jika mereka mampu memainkan peran dengan dengan baik, pasangan ini mestinya menghasilkan sebuah kolaborasi kepemimpinan yang apik. Hanya saja Jokowi mesti menjaga agar jangan terlalu “pasif” dan introvert, kelemahan khas seorang plegmatis. Mungkin karakter ini dapat diimbangi dengan karakter JK yang ekstrovert dan menggebu-gebu. Tapi bisa juga justru dapat menjadi kontraproduktif. Lihat saja saat berpasangan dengan SBY yang melankolis, kadang-kadang kita melihat JK sebagai wakil Presiden kok lebih aktif di  pemberitaan dengan letupan-letupan pernyataannya ketimbang Presiden sendiri. Sebagian masyarakat akhirnya bisa berasumsi, ada yang tidak sinkron di level eksekutif puncak republik ini karena wapresnya lebih dominan dari presidennya sendiri. Apalagi karakter ekstrovert ini sekaligus jadi kelemahan seorang Sanguinis-Koleris. Mereka kadang bicara blak-blakan tanpa analisis yang mendalam, dan kurang peka terhadap perasaan pihak-pihak lain.

Untunglah JK berada pada posisi wapres, sehingga nantinya yang menjadi penentu utama kebijakan tetaplah Jokowi.

Titik lemah mereka yang lain adalah seorang plegmatis-koleris bisa jadi sangat keras kepala, apalagi kalau sudah terlanjur yakin dengan prinsip atau pendiriannya. Kelemahan ini mirip-mirip dengan kelemahan sanguinis-koleris. Soalnya pada kedua kombinasi karakter ada elemen koleris yang memang jadi kepribadian khas seorang pemimpin. Titik lemah ini bisa jadi sumber masalah pada kolaborasi mereka berdua.

Oleh karena itu pada diskusi-diskusi yang terjadi jika menemui jalan buntu, kedua orang ini mesti menarik diri sejenak. Elemen plegmatis pada Jokowi mungkin dapat lebih membantu, karena plegmatis itu sebenarnya cenderung mencari keputusan yang membuat nyaman semua pihak.

Kita tidak tahu gaya kepemimpinan seperti apa yang akan mereka gunakan seandainya benar-benar terpilih sebagai pemimpin republik ini. Apakah Jokowi sebagai RI-01 akan menerapkan gaya saat memimpin DKI? JK yang akan “jaga markas” dan mengelola seluruh permasalahan birokrasi, sementara Jokowi blusukan ke departemen-departemen dan seantero negeri serta melakukan diplomasi-diplomasi strategis dengan pemimpin negara lain. Atau menerapkan pola kepemimpinan yang lain? Entahlah.

Tapi apapun nanti gayanya mereka tetap harus menjaga irama kepemimpinan mereka. Walaupun mencari titik temu antara kepribadian Jokowi dan JK sebenarnya butuh seni tersendiri, sebagai orang-orang yang kepemimpinan dan profesionalitasnya telah ditempa waktu mestinya tidak ada masalah lagi dalam kolaborasi mereka.

JK mesti lebih bijaksana mengeluarkan statement di depan publik dan tetap berada dalam koordinasi dengan Jokowi. Sementara Jokowi mesti tetap tegas, berpendirian. Jika sewaktu-waktu ada konflik kepentingan dengan para pendukung termasuk partai besar pengusungnya sekalipun, Jokowi tetap mesti berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan seluruh negara. Seorang Presiden dan Wakil Presiden begitu melafalkan sumpah jabatan, adalah milik seluruh rakyat bukan lagi milik pihak-pihak tertentu saja. (PG)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun