Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antiklimaks Eksekusi Mati

29 April 2015   20:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:33 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430312497386735854

[caption id="attachment_413664" align="aligncenter" width="554" caption="Capture halaman huffingtonpost.com. Gambar dokpri"][/caption]

Akhirnya eksekusi mati terhadap sejumlah pengedar Narkoba kelar dilaksanakan. Jika segala kegaduhan pro dan kontra eksekusi mati ini bisa dianalogikan dengan alur sebuah novel, maka saat ini kita telah mencapai klimaks cerita, setelah melewati konflik demi konflik dan dinamika cerita yang terus menanjak.  Setelah klimaks, alur cerita akan masuk pada tahap anti-klimaks dengan dinamika cerita yang semakin landai.

Banyak kisah-kisah pasca eksekusi mati yang menarik untuk disimak. Hari ini media tanah air dihiasi oleh berbagai peristiwa dan sudut pandang terkait eksekusi mati ini. Mulai dari Mary Jane yang eksekusinya ditunda karena terindikasi Mary Jane adalah korban trafficking. Kabarnya perekrut Mary Jane di Filipina sudah menyerahkan diri kepada pihak kepolisian, dan kemungkinan kesaksian Mary Jane  dibutuhkan untuk menyingkap kasus trafficking ini. Kemudian ada berita Perdana Menteri Abott yang sejak kemarin-kemarin memang selalu mencari cara untuk menggertak kebijakan Jokowi, kabarnya hari ini menarik dubesnya dari Indonesia. Lalu ada cerita (lagi) tentang kecaman PBB yang sudah kita dengar lagunya dari jauh-jauh hari. Ada juga celoteh blunder Fadli Zon yang langsung menuai  olok-olok dari netizen.

Dari daratan Australia, Kompasianer Opa Tjiptadinata Effendi sudah menuliskan pengamatan dan pengalaman pribadinya selama berada disana. Nampaknya reaksi masyarakatnya tidak sesengit yang kita bayangkan. Orang yang menolak dan mendukung eksekusi mati tersebut pasti ada, namun menurut beliau, suasana cukup kondusif. Tidak ada perlakuan aneh-aneh terhadap Opa Tjip sebagai WNI disana. Yang selalu heboh memang cuma elite dan mungkin juga sebagian medianya.

Sore tadi saya membuka huffingtonpost.com untuk melihat sudut pandang portal berita yang berkedudukan di Amerika Serikat tersebut. Berita mengenai eksekusi mati di Indonesia rupanya  juga nangkring di halaman depan pada kanal berita Internasionalnya.

Memang artikelnya tidak jadi headline tapi tak urung, artikel bertajuk “Indonesia Executed 8 Men For Nonviolent Drug Crimes, And The World Is Outraged” menggugah perhatian saya.

Artikel ini ditulis oleh reporter Matt Ferner yang selama ini banyak menulis artikel mengenai kasus-kasus narkotika di Amerika. Dari judulnya kita sudah bisa membayangkan bagaimana sudut pandang artikel tersebut. Matt Ferner memang banyak mengangkat komentar-komentar sejumlah tokoh dan organisasi HAM Internasional menyikapi eksekusi tersebut. Diakhir artikel disertakan pula sebuah surat terbuka dari sejumlah organisasi seperti StoptheDrugWar.org, REDUC (organisasi HAM Brasil), Death Penalty Focus dan lain-lain yang dialamatkan kepada pejabat terkait di Amerika termasuk Kantor Kedutaan besar kita di Amerika. Isi surat sekali lagi, menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap hukuman mati tersebut beserta alasan-alasannya.

Namun bagian yang paling menarik dari artikel ini adalah interaksi yang terjadi setelahnya. Sampai saat ini ada kurang lebih 227 komentar netizen terhadap artikel tersebut. Ada yang pro dan ada juga yang kontra menyikapi hukuman mati di Indonesia ini. Tentu setiap komentator menyertakan argumen dari sudut pandangnya masing-masing.

Kontra

Sebagian besar netizen yang tidak setuju menyertakan alasan bahwa bagaimanapun juga hukuman mati terhadap kejahatan tanpa kekerasan (non-violent crime) tidak tepat diberlakukan. Beberapa netizen yang sepertinya mengikuti pemberitaan di Indonesia mengungkapkan pembunuh sadis hanya dipenjara belasan tahun, namun orang yang membawa narkoba dijatuhi hukuman mati.

Kita bisa mengerti karena di Amerika hukuman mati diberlakukan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kekerasan yang vulgar dan “kasat mata”. Mereka juga pasti tidak memahami permasalahan dasar di tanah air sampai hukuman mati terhadap pengedar narkoba ini diberlakukan.

Ada juga netizen yang mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan sudut pandang lain. Menurutnya pemerintah Indonesia harus lebih tegas dan konsisten, karena sebenarnya saat orang-orang asing itu dihadapkan pada regu tembak, masih banyak produsen dan pengedar narkotik WNI yang bebas berkeliaran disana. Komentar ini ditulis oleh Marilee Henneberger, saya kutipkan tulisannya sebagai berikut:

You can get drugs in Bali as easily as buying a soft drink. Most dealers and many users are Indonesian. Yet these foreigners, arrested years ago, are executed while thousands and thousands still transport, sell, distribute and profit off the drug trade OPENLY in that country. I'm not suggesting that drug dealers or distributers be pardoned or should just be released to go their merry way, but execution in this case was beyond inhumane and inappropriate.

Ada pula yang menyebutkan hukuman di Indonesia sudah ketinggalan zaman, beberapa bahkan menghubung-hubungkannya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam sehingga hukuman mati dianggap wajar.

Pro

Pada sudut pandang lain, banyak pula netizen yang setuju dengan hukuman mati tersebut. Seorang netizen dengan nick name Capo Chino menulis

ALL DRUG TRAFFICERS ARE SUPPORTING DEATH BY DRUGS THAT KILLS MILLIONS ALL OVER THE WORLD. AMERICA AND THE WORLD SHOULD BE ASHAMED FOR PROTECTING CORRUPT DRUG TRAFFICERS . INDONESIA DID THE RIGHT THING . THE DRUG TRAFFICERS DIDNT HAVE ANY RESPECT FOR THEIR FAMILIES AT ALL BY WHAT THEY WERE DOING AND KNEW THE CONSENQUENSES IF CAUGHT. NO SYMPATHY FOR THEM

Hanya karena cara penulsan secara netiket kurang tepat, komentarnya banyak mendapat kritik dari netizen lain.

Hampir senada dengan itu, sejumlah netizen berpendapat kalau Indonesia punya hukum sendiri yang tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi di negara tersebut. Para pengedar dari luar negeri sudah tahu konsekuensi yang akan mereka terima jika nekat masuk ke otoritas Indonesia, dan mereka memilih resiko tersebut.

Tentang sejumlah simpati terhadap para terpidana mati, Armanda Smithe menulis

Not sure of why the sympathy for 8 international drug dealers.

Senada dengan pendapat tersebut walaupun agak OOT, beberapa netizen menyayangkan mengapa simpati terhadap 8 pengedar narkoba melebihi simpati terhadap ribuan orang yang tewas karena gempa di Nepal.

Demikian kira-kira cuplikan komentar para netizen. Memang tidak bisa serta merta dijadikan sebuah sampling yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Tapi komentar-komentar tersebut bisa memberikan gambaran bagaimana kira-kira tanggapan netizen luar sana terhadap eksekusi mati di Indonesia. Pro dan kontra pasti akan terus terjadi,  terutama jika bersinggungan dengan hal-hal sensitif seperti isu hak asasi manusia. Namun yang pro dan kontra cukup berimbang. Selama ini yang kita dengar dari luar negara cenderung negatif.  Padahal apa yang dilontarkan pejabat suatu negara atau tokoh-tokoh di negara tersebut, tidak selalu mewakili aspirasi masyarakatnya.

Well, eksekusi mati tahap dua kelar sudah. Setelah itu…. life goes on.  Saya amati pemberitaan, beberapa hari ini banyak produsen dan pengedar narkoba dalam negeri yang tertangkap. Artinya jika pemerintah konsisten masih akan ada banyak lagi terpidana mati yang menyusul, termasuk Fredy Budiman CS di antaranya.

Perang terhadap narkoba harus terus digaungkan. Pemerintah mesti menunjukkan kepada dunia Internasional kalau negara kita benar-benar serius berperang. Mau orang dari luar atau orang dalam sendiri, jika memang terbukti bersalah, harus dieksekusi. Tidak boleh tebang pilih. (PG)

Referensi:

huffingtonpost.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun