Untuk kesekian kali, aku meneguk gelas bir dingin dan membiarkan kepalaku berayun mengikuti beat lagu disko tahun 80-an. Udara sedikit hangat, walaupun pendingin ruangan sudah disetel kencang. Teriakan dan gelak tawa para lelaki campur aduk dengan musik dan denting gelas minuman beralkohol.
Dari ujung bar, Randy muncul, menghampiriku, melabuhkan kecupan mesra lalu berpamitan. Aku menepuk bahunya untuk melepasnya pergi. Rasa kehilangan yang dalam segera menghampiriku.
Randy adalah seorang akuntan muda berbakat yang bekerja pada salah satu kantor notaris ternama di New York. Setahun yang lalu dia ditugaskan untuk mengawal pembukaan kantor cabang di Manhattan. Setahuku Randy langsung jatuh cinta pada ambience kota ini.
Kami bertemu enam bulan lalu, saat aku mengurus proses jual beli apartemen salah satu klien kami. Perusahaan mendelegasikan wewenang kepadaku untuk membuka kemitraan baru dengan kantor notaris tempat Randy bekerja melalui proyek jual beli apartemen itu.
Entah mengapa sejak pertama bertemu, aku sudah merasakan getar-getar yang berbeda dari sorot mata Randy. Pertemuan kami itu berlanjut ke pertemuan non formal di club bilyard. Dia pemain bilyard yang hebat, tapi belum bisa benar-benar menandingi kepiawaianku menyodok bola-bola itu. Setelah pertemanan di club itu, entah siapa yang memulai, getar-getar yang sama menghantar kami dalam petualangan yang lebih dalam. Mulai dari sekedar kencan sampai pada akhirnya menjajali hangatnya ranjang kamar-kamar hotel di Manhattan. Bergelut dalam kecupan, pelukan dan permainan asmara. Aku tahu hubungan kami terlarang, tapi…. kami benar-benar menikmatinya.
Randy pula yang memperkenalkanku pada club gay ini. Aku salut pada kemampuannya bersosialisasi. Dalam waktu singkat sepertinya dia sudah memiliki teman di seantero kota.
“Hei, Douglas…..!! Kemarilah……!!” seruan samar menghampiri gendang pendengaranku.
Aku berbalik dan menjatuhkan pandangan ke sudut ballroom. Di sekitar meja bundar ada dua wanita dan empat pria yang sedang mengangkat gelas minumannya ke arahku. Itu Brandon dan kawan-kawannya. Aku tahu mereka sedang berpesta merayakan kemenangan atas pengesahan same sex marriage baru-baru ini.
“Sudahlah…, lupakan Randy, bro. Dia tidak bakal balik ke Manhattan lagi. Dia punya pacar disana,” sapa Brandon begitu aku menghampiri meja mereka.
Aku tersenyum sembari menyambut minuman yang disodorkan Billy kepadaku.