Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Abaikan HPP, Usaha Bisa Tekor

12 Januari 2014   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Usaha kecil milik orang-orang pinggiran seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak bankable. Padahal usaha kecil ini memiliki peran yang cukup penting dalam menopang ekonomi negeri ini. Kita masih ingat saat negeri ini ikut merasakan hempasan badai ekonomi global beberapa waktu lalu. Sektor finansial berjatuhan karena fondasinya yang rapuh. Pada saat itulah sektor riil dengan geliat ekonomi akar rumput memainkan perannya.

Dengan pengelolaan yang baik, Usaha Kecil Menengah memang mampu menjadi lahan bisnis yang menjanjikan dan ikut memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Namun tidak bisa dipungkiri masih banyak usaha kecil masyarakat yang luput dari perhatian pemerintah maupun lembaga keuangan seperti perbankan dan LKM.  Usaha kecil ini berjalan “alamiah” tanpa dukungan tool usaha dan manajemen yang memadai. Para pelaku usahanya hanya mengandalkan best practise semata. Sah-sah saja sih, terbukti dari usahanya yang terus berjalan.

Masalah baru terjadi jika mereka mulai berhadapan dengan resiko usaha, inflasi, kerugian dan lain-lain. Belum lagi bicara pencatatan keuangan, pemisahan kas usaha dan kas pribadi. Perangkat-perangkat manajemen usaha seperti ini yang seringkali tidak dipahami sehingga menimbulkan kesulitan saat pelaku usaha kecil hendak memantau progress usahanya.

Salah satu komponen sederhana dalam usaha yang kadang belum dipahami sepenuhnya oleh pelaku usaha kecil adalah menghitung Harga Pokok Penjualan (HPP). Penggunaan istilah HPP lebih familiar pada usaha jual beli, walaupun sebenarnya penentuan HPP juga tetap digunakan dalam usaha yang melibatkan produksi.  Menurut teori pembukuan dan akuntansi, HPP adalah jumlah persediaan awal ditambah pembelian bersih dikurangi persediaan akhir barang. Yang dimaksud dengan pembelian bersih adalah pembelian ditambah biaya angkut, biaya upah, dikurangi retur atau potngan harga. Perhitungan HPP biasa dilakukan pada akhir periode akuntansi. Jika harga jual barang lebih besar dari HPP maka usaha tersebut untung, sebaliknya jika harga jualnya lebih rendah dari HPP maka usaha merugi.

Kita buat definisinya lebih praktis untuk memudahkan ilustrasi nantinya. HPP berarti harga dasar pembelian produk ditambah biaya-biaya perolehan yang terjadi (transportasi, upah, dan lain-lain) sampai barang tersebut siap dijual kembali dikurangi retur atau potongan harga.

Dengan menghitung HPP yang tepat, pelaku usaha memiliki dasar yang jelas menentukan harga jual produk yang akan dipasarkannya. Sebaliknya jika HPP-nya tidak tepat, bisa saja pelaku usaha salah menentukan harga jual produknya. Kalau ketinggian sih tidak masalah, artinya keuntungannya lebih besar lagi. Tapi di sisi lain, harga tinggi berarti pembeli akan menjauh. Kalau harga jualnya kerendahan, maka pelaku usaha harus puas dengan margin keuntungan yang tipis, salah-salah bisa merugi.

Sebagai ilustrasi sederhana, seorang pedagang beras membeli 100 karung beras 5 Kg dari penyalur seharga Rp 45.000,- per karung. Untuk sampai di lapaknya, pedagang mengangkut beras tersebut dengan mobil plus menyewa buruh untuk membantunya. Biaya angkut beras tersebut ditambah bensin sebesar Rp 300.000,-  Biaya buruh beras sebesar Rp 50.000,- Untuk menghitung HPP beras tersebut kita harus menghitung biaya dasar pembelian seluruh beras ditambah biaya-biaya yang terjadi.

1.100 karung x Rp 45.000 = Rp 4.500.000,-

2.Rp 4.500.000 + Rp 300.000 + Rp 50.000 = Rp 4.850.000,-

Jadi HPP per karung beras = Rp 4.850.000/100 = Rp 48.500 per karung.

Jika pedagang tersebut hendak memperoleh margin keuntungan 10%. Maka selisih harga yang harus ditambahkan adalah 10% x Rp 48.500 = Rp 4.850. Jadi harga jual yang harus dikenakan adalah HPP ditambah margin keuntungan yang diinginkan = Rp 48.500 + 4.850 = Rp 53.350 per karungnya.

Tanpa mengetahui HPP yang sebenarnya, pengusaha akan kesulitan menentukan harga jual yang layak untuk menarik pembeli dan tetap memperoleh margin keuntungan yang sesuai. Misalnya pada ilustrasi di atas sepintas lalu pedagang beras tersebut bisa saja memberi harga jual Rp 50.000 per karung, karena sudah ada selisih harga Rp 5.000 per karung dengan harga yang dibeli dari penyalur, Rp 45.000. Namun jika harga tersebut diterapkan, maka margin keuntungan sebenarnya hanya Rp 1.500 pe karung. Tipis sekali. Bagaimana bila tiba-tiba terjadi biaya-biaya perolehan yang tidak terduga sebelumnya selama proses pengangkutan? Keuntungannya akan semakin tergerus.

Pengetahuan-pengetahuan praktis seperti ini kadang belum dimiliki oleh pelaku usaha kecil. Kalaupun dipraktekkan, biasa berdasarkan insting usaha mereka saja, bukan berdasarkan pemahaman yang memadai.

Beberapa waktu lalu, seorang pelatih wirausaha berbagi pengalamannya saat memberikan pelatihan wirausaha pada di satu daerah. Dia difasilitasi oleh salah satu Credit Union di daerah tersebut. Peserta pelatihan saat itu sebagian besar adalah pedagang-pedagang kaki lima di pasar tradisional. Saat dia memaparkan materi HPP ini dan membantu peserta pelatihan menghitung HPP dan harga perolehan, peserta pun terperangah karena selama ini mereka tidak pernah memikirkan hal tersebut dalam menjalankan usahanya. Mereka tidak menduga kalau biaya kecil-kecil seperti uang rokok untuk buruh, bensin motor, sewa gerobak dan biaya lainnya juga mestinya ikut mempengaruhi harga jual barang dagangannya. Tidak semata-mata berfokus pada selisih harga jual dan harga beli di agen atau penyalur besar.

Tidak heran, sekalipun sudah jualan bertahun-tahun banyak pelaku usaha kecil yang taraf kesejahteraannya tidak meningkat signifikan. Alih-alih memaksimalkan keuntungan untuk membangun modal dan dana cadangan, kadang tanpa sadar mereka merugi karena modalnya ikut tergerus untuk mempertahankan perputaran usahanya. (PG)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun