Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bagaimana Kalau Menu Serangga dimulai dari Kudapan Rapat Kabinet?

28 Januari 2025   13:55 Diperbarui: 28 Januari 2025   13:55 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari kompas.com (kwanchaichaiudom)

Pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, mengenai kemungkinan serangga menjadi opsi menu pada program MBG (Makan Bergizi Gratis) sukses menuai reaksi masyarakat, khususnya di media sosial. Ada yang pro dan ada yang kontra, tapi sudah bisa kita duga, lebih banyak yang kontra dibanding yang pro terhadap pernyataan tersebut

Sebenarnya jika kita menyimak secara saksama pernyataan dari Kepala Badan Gizi Nasional, opsi ini bisa dipertimbangkan mengingat keanekaragaman sumber daya hayati dan keanekaragaman kuliner di negara kita.

"Mungkin saja ada satu daerah yang suka makan serangga, belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein," ujar Dadan sebagaiman dikutip dari kompas.com. Pada kesempatan lain Dadan Hindayana juga mengatakan "Tapi itu (usulan konsumsi serangga sebagai menu MBG) contoh bahwa Badan Gizi ini tidak menetapkan standar menu nasional, tetapi menetapkan standar komposisi gizi. Nah, isi protein di berbagai daerah itu sangat tergantung potensi sumber daya lokal dan kesukaan lokal. Jangan diartikan lain ya," (kompas.com)

Ini berarti menu serangga dalam MBG kalaupun nanti jadi diterapkan, hanya diterapkan pada daerah yang memang kompatibel untuk itu. Bukan jadi standar menu secara nasional, yang sepertinya sudah terlanjur disalahartikan oleh banyak warganet.

Sebenarnya di luar ingar bingar MBG ini, konsumsi serangga sebagai sumber protein bukanlah hal yang baru. Konsumsi serangga (termasuk ulat dan sejenisnya) sudah lazim dilakukan di beberapa negara. Seperti contoh, kuliner Beondegi yang terkenal di Korea Selatan adalah makanan yang terbuat dari larva ulat sutera. Beberapa menu street food yang populer di Thailand dan Mexico memiliki bahan baku serangga seperti belalang, jangkrik, kepompong dan jenis serangga lainnya. Belum lama ini, Badan Pangan Singapura mengumumkan 16 jenis serangga yang dapat dikonsumsi oleh masyarakatnya. Hal ini mengindikasikan pemerintah Singapura pun concern pada serangga sebagai sumber protein alternatif. Di negara kita, konsumsi ulat sagu sudah umum dilakukan di sejumlah daerah.

Bicara kandungan gizi, sebagai sumber protein dan serat, serangga memiliki kadar lemak jenuh yang lebih rendah dibanding ayam atau sapi. Beberapa serangga seperti belalang dan jangkrik malah memiliki kadar protein yang lebih tinggi dalam penyajian yang setara dengan dengan sumber protein lain. Dilansir dari portal CNN Indonesia, Jangkrik mengandung 460 kalori, 18,5 gram lemak, dan 69 gram protein per 100 gram. Sementara belalang mengandung 560 kalori, 38 gram lemak, dan 48 gram protein per 100 gram. Sebagai perbandingan, daging sapi per 100 gram mengandung 250 kalori, 15 gram lemak, dan 26 gram protein. Sementara telur rebus mengandung 155 kalori, 11 gram lemak, dan 13 gram protein per 100 gram.

Perspektif Lingkungan

Hal lain yang patut menjadi perhatian kita bersama dari konsumsi serangga ini adalah kontribusinya terhadap lingkungan.

Menurut informasi dari FAO, sektor peternakan selama ini menyumbang 14,5% dari emisi gas rumah kaca global. Bagaimana dengan konsumsi ikan? Jangan lupa sektor perikanan saat ini juga sudah diindustrialisasi. Proses penangkapan ikan, terutama yang dilakukan dalam skala industri juga menghasilkan emisi karbon yang besar.

Ini membuat serangga menjadi jalan tengah untuk alternatif sumber protein yang lebih ramah lingkungan. Budidaya serangga meninggalkan jejak karbon yang lebih kecil, karena space untuk budidaya serangga relatif lebih kecil dibanding peternakan konvensional untuk ternak seperti unggas dan sapi. Kebutuhan penggunaan air selama proses budidaya pun lebih kecil. Selain itu serangga memiliki FCR (Food Conversion Ratio) yang lebih tinggi, sehingga serangga lebih efisien dalam mengubah pakan menjadi protein tanpa banyak meninggalkan limbah atau frass.

Oleh karena itu budidaya serangga pun bisa dilakukan di tengah-tengah perkotaan. Dengan demikian jarak tempuh antara peternakan dan konsumen relatif menjadi lebih pendek. Emisi karbon yang dihasilkan dari proses transportasi pangan pun pun jadi lebih kecil. Bandingkan dengan peternakan konvesional yang lebih banyak terletak di daerah rural sedangkan konsumennya sebagian besar berada di perkotaan.

Butuh Kajian yang Lebih Serius

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun