Yang ada tinggal kopi gula aren, sahut wanita tua itu.
Dia berusaha tetap berwajah hangat
walau gurat-gurat perkelahian dengan kehidupan
terukir jelas di sana.
Kopi-kopi yang lain sudah habis, sahutnya lagi
berakhir di perut-perut pemburu kopi yang lain.
Aku mengiyakan
transaksi pun terjadi.
Isi saset meluncur ke dalam cangkir
air mendidih meluncur ke dalam cangkir
dan denting sendok beradu dengan bibir cangkir
terdengar berkali-kali
sebelum secangkir kopi gula aren tersaji di depanku.
Asapnya mengepul
seolah memanggil raga-raga yang penat
untuk singgah sebentar saja
membenamkan diri dalam kenikmatannya.
Aku pun setuju.
Perjalanan masih jauh
jadi mumpung bus yang kami tumpangi sedang menepi
secangkir kopi gula aren bisa jadi pilihan yang tepat saat ini.
Seharusnya kehidupan kita juga seperti itu.
Jalan hidup selalu ada di sana
setia menunggu untuk ditapaki para peziarah.
Jadi sesekali kita-lah yang harus mengambil jeda
menikmati kopi gula aren
yang sesuai
untuk jiwa kita masing-masing.
---
raha, 5 januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H