Bagaimana caranya membunuh waktu?Â
Daya sintasnya luar biasa. Dia selalu mampu hidup kembali sebanyak jumlah pembunuhan yang kamu alamatkan kepadanya. Jika kematiannya dianalogikan seperti sebuah peristiwa kejahatan, dia sudah hafal berbagai modus operandi di luar kepala. Cairan kimia, senjata tajam dan tumpul, ledakan peluru, detonator bom, gas beracun, patah tulang, sambaran petir, kecelakaan lalu lintas, kamu boleh menyebut seribu satu cara untuk mati, dia sudah mengalami itu semua.
Dan... dia selalu bisa hidup kembali.
Jadi dibanding mencari cara-cara lain yang hanya akan berujung sia-sia, apa tidak sebaiknya aku berkawan saja dengannya?Â
"Hei, aku masih ada di sini. Masih hidup. Masih segar bugar," ucapnya di ujung sore. Dia berdiri dengan percaya diri. Sedangkan aku duduk di tepi dermaga kayu, memandang bola besar berwarna merah tembaga yang sudah merapat ke tepi samudra. Tapi senja ini masih akan lama. Mungkin kalau aku bisa membuatnya mati sekejap saja, aku bisa membuat malam tahu-tahu sudah di depan mata.
"Kamu tidak tertarik membunuhku seperti yang sudah-sudah?" tanyanya antusias, seolah aku ini kawan lama yang baru bertemu kembali.
Aku menggeleng.
"Percuma saja, bukan? Kamu akan hidup, terus hidup dan terus hidup," sahutku.
Waktu tertawa beberapa saat.
"Itu sudah hakikatku, Kawan. Ayolah. Aku menikmatinya, kok. Mati dan hidup lagi berkali-kali. Apa kamu tidak takut mati pelan-pelan digerogoti jenuh seperti ini? Apalagi kamu masih harus menunggu kekasihmu berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya."
Aku tidak bisa menyangkalnya. Sama seperti bola besar berwarna tembaga yang tidak bisa menyangkal bintang-bintang yang mulai muncul satu-satu di bibir langit.