Nah, ini bagian yang menarik. Mungkin kita mulai dengan nasihat: jangan menyikapi politik dengan naif. Berkaca dari dinamika politik tanah air selama ini, hal yang kita pandang sederhana bisa saja sebenarnya sangat kompleks. Atau sebaliknya, hal yang kita pandang sangat kompleks, ternyata sebenarnya sederhana saja.
Mendasarkan penalaran pada prinsip tersebut membuat kita tidak "sekadar ikut arus" dalam mengamati fenomena politik yang terjadi. Kita bisa tetap membuat analisis untuk mencermati adanya kemungkinan skenario-skenario lain yang tidak nampak secara kasat mata di permukaan.
Ketika dihadapkan pada pertanyaan "Mengapa Anies Baswedan?" saat Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan secara resmi 3 Oktober yang lalu, Surya Paloh dengan mantap menjawab "Why Not the Best?"
Ini menjadi checkpoint yang penting karena sebelumnya kita melihat beberapa kader Nasdem justru cukup getol mengkritik kebijakan dan kinerja Anies Baswedan. Pada pilgub DKI tahun 2017 yang lalu, Nasdem juga berada di kubu Ahok. Apa yang membuat arah angin kini berubah?
Ada beberapa alternatif pemikiran yang muncul untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, Nasdem mungkin saja ingin menjembatani polarisasi konstelasi politik yang terjadi selama ini. Anies sebagai capres yang selama ini kontra Jokowi akan dipasangkan dengan sosok dari kubu Jokowi. Dan ini tujuan yang mulia. Sayangnya kemungkinan ini menjadi kecil, karena toh Nasdem membuka ruang bagi Anies untuk menentukan cawapresnya sendiri, dengan catatan tetap dalam koordinasi dengan koalisi parpol. Parpol-parpol koalisi tentu juga punya tawaran tersendiri untuk posisi cawapres.
Pemikiran kedua, Nasdem memang saat ini mulai berubah haluan dan ingin lebih mesra dengan koalisi oposisi pemerintahan Jokowi. Ini tidak jadi masalah dalam politik. Kita tahu, tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam dinamika politik. Tapi ini pun harus dibayar mahal Nasdem dengan elektabilitas partai yang terus merosot. Tidak bisa dipungkiri, banyak pemilih Nasdem yang selama ini adalah pendukung Jokowi.
Pemikiran ketiga, Nasdem sejak awal sebenarnya tidak berubah haluan dari gerbong koalisi pemerintahan. Nasdem hanya ingin mengunci posisi Anies Baswedan. Ini memang pemikiran yang nyeleneh. Tapi bagaimana kalau sejak awal Nasdem tahu sebenarnya koalisi untuk mencapreskan Anies Baswedan nyaris mustahil untuk terwujud? Mungkin karena biaya politiknya yang terlalu mahal atau mungkin karena sudah ada contekan nama-nama capres kompetitor lainnya di antara para elite parpol. Entahlah. Dan bisa saja di saat-saat terakhir nanti, Nasdem meninggalkan Anies karena tidak ada deal politik yang pasti di antara parpol koalisi.
Menanti Kabar Reshuffle
Mungkin saja ada skenario lain, tapi secara garis besar tidak akan jauh dari 3 pemikiran di atas. Yang jelas, apapun skenario yang dilakoni Nasdem, parpol harus menanggung dampaknya karena elektabilitas partai yang merosot pasca mengumumkan Anies Baswedan sebagai kandidat capres. Belum lagi beberapa tokoh besar partai yang hengkang satu per satu karena sudah tidak sepemikiran lagi dengan arah partai.
Nah, isu reshuffle kabinet bisa jadi cara kita menguji pemikiran-pemikiran tadi. Jika nanti seandainya reshuffle benar-benar terjadi dan setelah kocok ulang kabinet kader-kader Nasdem tersingkir, bisa jadi memang Nasdem telah meninggalkan dan ditinggalkan koalisi parpol pemerintahan. Proses suksesi Anies Baswedan bisa lebih mengalami percepatan kalau ini yang terjadi.
Jika kader Nasdem masih bertahan di kabinet berarti hubungan Nasdem dan koalisi parpol di balik Presiden Jokowi masih baik-baik saja. Sebaliknya, ini mestinya jadi alarm peringatan untuk Anies Baswedan. Jangan-jangan Nasdem memang menjalankan peran untuk mengunci posisinya. Anies jadi tidak bisa kemana-mana, juga tidak punya banyak pilihan saat ini.
Tapi bagaimana jika kader Nasdem ada yang tersingkir dari kabinet dan masih ada yang bertahan di kabinet? Ini yang sedikit membingungkan. Mungkin saja Jokowi memang mendasarkan penilaian lebih besar pada kinerja profesional dibanding pertimbangan politik untuk menteri-menterinya. Tapi kemungkinan pertama dan kedua tetap bisa menjadi pertimbangan untuk kondisi yang ketiga ini.