Beberapa waktu yang lalu DPR merilis draft Undang-Undang PPSK (Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan) yang cukup menyita perhatian publik. Pasalnya sejumlah klausul dalam undang-undang ini juga ternyata mengatur tentang koperasi khususnya yang bergerak dalam usaha simpan pinjam.
Pada beberapa pasal, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) diberi kewenangan untuk mengawasi jalannya usaha koperasi. Hal ini berhasil menuai polemik dan penolakan dari insan-insan gerakan koperasi tanah air.
Sejumlah aksi ditunjukkan untuk menegaskan sikap tersebut. Mulai dari mengunggah penolakan di akun media sosial koperasi, memajang papan ucapan berisi penolakan sampai melakukan audiensi dengan Komisi DPR terkait. Akhir bulan November lalu tagar #TolakOJKdiKoperasi jadi trending topic Twitter tanah air. Hal ini menunjukkan penolakan koperasi di bawah pengawasan OJK cukup ramai diperbincangkan.
Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa gerakan koperasi kompak menolak klausul ini? Dan apa yang akan terjadi jika OJK menjadi pengawas usaha koperasi?
Biar lebih fair, mari kita coba mengurai jawabannya dari dua sisi, perspektif gerakan koperasi dan perspektif RUU PPSK itu sendiri.
Perspektif Koperasi
Sebenarnya alasan utama dari ketidaksetujuan insan-insan koperasi adalah gerakan koperasi memang pada dasarnya tidak kompatibel dengan sistem pengawasan ala OJK. Untuk lembaga keuangan yang sifatnya komersil seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan sejenisnya, pengawasan OJK sudah sesuai.Â
Tapi tidak untuk koperasi yang lebih mengedepankan asas demokrasi dan kekeluargaan dalam usahanya. Akan ada banyak ketidakcocokan begitu prinsip-prinsip usaha yang berlaku pada lembaga keuangan di luar koperasi diterapkan pada koperasi.
Sebagai contoh, kita lihat pasal 44G mengenai usaha simpan pinjam. Di sana tertulis,
Dalam memberikan pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam wajib memegang teguh prinsip pemberian pinjaman yang sehat dengan memperhatikan penilaian kemampuan dan kepatutan pemohon pinjaman.
Lalu pada ayat berikutnya tertulis,