Pelayan itu mengantar kopi tubruk dan kopi latte ke meja nomor 8. Meja bundar kecil yang hanya dilengkapi dua kursi. Sudah ada penghuni di atas setiap kursi.Â
Seorang bapak berkumis lebat dengan perut sedikit buncit dalam balutan jaket kulit dan seorang cowok ceking berusia 20-an mengenakan jaket hoodie berwarna hitam abu-abu. Keduanya sedang mengobrol hangat sambil sesekali saling memperlihatkan gawai masing-masing.
Si bapak menggenggam handphone dan si cowok memegang tablet dengan layar terbuka.
"Kopi latte dan kopi tubruk," ucap pelayan dengan ramah sembari memindahkan kopi-kopi dari nampan ke atas meja. Setelah anggukan dan ucapan terima kasih dari tamu-tamu, pelayan tersebut pergi.
Kedua kopi itu saling menertawai.
"Tuh kan, om-om."
"Yee, tuh kan anak ababil."
Tapi suasana saling mengejek itu hanya terjadi sesaat sebelum ekspresi keduanya berubah 180 derajat. Si cowok mengulurkan tangannya mengambil gelas kopi tubruk, sedangkan bapak berkumis meraih gagang cangkir kopi latte.
Mereka menyeruput kopi masing-masing dengan nikmat sambil melanjutkan percakapan. Dua lelaki itu sepertinya bertemu karena urusan bisnis.Â
Keduanya mengobrolkan analisis fundamental, analisis teknikal dan saham-saham blue chip yang punya prospek bagus. Mereka tidak peduli pada kopi-kopi mereka yang saling pandang keheranan.
Kopi-kopi itu tidak tahu kalau di salah satu sudut kedai ada tulisan dinding terpampang besar-besar: Don't judge a man by his coffee.