Misteri kelangkaan minyak goreng sebenarnya bukan isu yang misterius-misterius amat. Setelah pemerintah mencabut peraturan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng, wajah kebutuhan pokok yang satu ini langsung menghiasi pasar.
Tidak perlu berpikir rumit-rumit untuk memperkirakan apa yang sebenarnya terjadi. Saat harga masih "gelap", minyak goreng seperti putri yang sembunyi malu-malu. Setelah harga "terang benderang" barulah dia keluar dari persembunyiannya. Siapakah yang menggerakkan sang putri malu ini? Ada begitu banyak pelaku rantai nilai pada distribusi minyak goreng. Semuanya punya andil.
Tapi sebenarnya ini hanyalah konsekuensi dari hukum supply and demand. Pelaku pasar pasti ingin untung. Produsen ingin untung dari hasil pengolahan bahan mentah, pedagang ingin untung dari margin harga beli dan jual. Apalagi jika sudah ada mafia yang bermain di rantai distribusi minyak goreng, seperti dikatakan Mendag, Muhammad Lutfi, lengkap sudah.
Ingatan saya melompat ke masa kurang lebih dua tahun lalu. Saat itu pandemi Covid-19 baru saja merebak di tanah air. Masker (standar) dalam sekejap menjadi produk di pasaran yang paling dicari karena semua orang ingin selamat dari incaran Miss Corona. Akhirnya para pemburu cuan yang ingin memanfaatkan momentum bermunculan dan harga masker pun meroket.
Dari pemberitaan saat itu sebenarnya stok masker untuk kebutuhan dalam negeri masih mencukupi sekalipun ada peningkatan kebutuhan. Tapi harga terus bergerak naik karena panic buying dan penimbun masker beraksi. Bayangkan, harga normal masker standar yang berada di kisaran 50 ribuan rupiah per dos, dalam sekejap menjadi 400 bahkan 500 ribu rupiah per dos.
Untungnya, masker termasuk produk yang bisa disubstitusi. Tidak ada masker standar, masker kain pun jadi. Selain bisa dijahit sendiri, sejumlah pemerintah daerah juga memberi stimulus kepada usaha konveksi untuk melakukan produksi masker secara massal.
Fenomena harga masker selangit pun hanya bertahan beberapa minggu sebelum akhirnya harga terkoreksi kembali.
Tahun lalu saat Covid-19 gelombang kedua menghantam kita khususnya kota-kota besar di pulau Jawa, tabung oksigen pun jadi rebutan dan diperjualbelikan dengan harga jauh lebih mahal dari biasanya. Orang-orang yang membutuhkan bersedia membayar dengan harga berapa saja karena terkait dengan nyawa manusia.
Bahkan ada yang sampai tega melakukan penipuan dengan menjadi pedagang tabung oksigen fiktif. Uang pembelian sudah ditransfer ke rekening penjual, eh tabungan oksigennya tidak sampai-sampai. Setelah dicek lagi, ternyata akun penjualnya sudah hilang ditelan bumi.
Ini sebuah kontradiksi. Masyarakat negara kita sudah dikenal sebagai orang-orang yang ramah dan punya jiwa sosial yang tinggi. Tapi melihat fenomena tersebut, pernyataan ini harus dipertanyakan kembali. Pada saat nyawa orang lain jadi taruhan, kok masih ada yang tega mencari keuntungan selangit?