Pada kasus harga masker selangit tadi, contohnya. Ternyata bukan hanya pedagang yang terciduk menimbun masker. Ternyata justru ada orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan yang juga bermain di dalamnya.
Akhirnya saat harga berbalik, ada penimbun masker yang rugi besar, hingga miliaran rupiah, karena sudah terlanjur menimbun masker dalam jumlah banyak. Mereka tidak mengira harga akan terkoreksi lebih awal.
Nah, kasus minyak goreng kita tentu saja tidak bisa disandingkan head to head dengan kasus masker. Minyak goreng tetap bisa saja dibuat di rumah sendiri dengan mengolah santan kelapa. Tapi karena kurang praktis, tidak banyak masyarakat yang berminat melakukannya sehingga tidak banyak membantu membalik keadaan.
Yang ingin saya katakan adalah, untuk mengejar keuntungan, mafia-mafia rela mengesampingkan hati nurani. Jika masker saja bisa ditimbun, apalagi minyak goreng.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Bapak Mendag dan tim yang sudah bersusah payah menjaga harga dan ketersediaan minyak goreng, mestinya kemungkinan-kemungkinan seperti ini sudah diskenariokan sejak awal.
Memang dinamika geopolitik, invasi Rusia ke Ukraina ikut membawa dampak besar kepada harga dan ketersediaan minyak goreng. Tapi jangan lupa minyak goreng termasuk dalam sembilan bahan pokok yang rawan dipelintir kemana-mana, bahkan ke ranah politik.
Pengalaman sebelumnya bisa dijadikan pembelajaran. Pemburu rente tidak akan hilang selagi masih ada produk yang bisa dijadikan obyek bancakan. Tapi pemerintah selaku regulator mestinya tidak boleh kalah. Pemerintah punya banyak senjata, mulai dari kebijakan pasar, pengalokasian sumber daya keuangan sampai langkah-langkah represif di lapangan. Semuanya harus dikelola secara terpadu agar minyak goreng atau komoditas apa pun nantinya tidak nampak carut marut penyelesaian masalahnya. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H