Hati Jokpin digedor-gedor dengan suara sirine mobil-mobil pengangkut jenazah korban pandemi yang nyaris terdengar sepanjang waktu. Dalam sejam dua jam saja, Jokpin bisa menghitung berapa jiwa lagi yang berpulang.
Jokpin mulai menalar dan mengembangkan puisinya dari fenomena tersebut. Suara sirine pun digubah menjadi sebuah pertanyaan reflektif: apakah kematian itu memang suratan takdir seorang manusia?
Bagaimana jika kematian terjadi karena kelalaian manusia lainnya? misalnya: karena kelalaian pihak-pihak terkait membangun sistem kesehatan yang lebih baik dan siap menghadapi bencana.
Ini yang dimaksud dengan menulis puisi melalui pendekatan induktif oleh Jokpin. Dimulai dengan hal khusus atau objek tertentu, lalu dikembangkan menjadi sebuah puisi yang paripurna.
Setelah penjelasan panjang dari Jokpin tentang metode tersebut, saya spontan mengingat-ingat kembali bagaimana pendekatan yang saya lakukan selama ini. Ternyata nyaris semua puisi saya ditulis dengan pendekatan deduktif.
Ya, saya selalu mulai dari tema besarnya terlebih dahulu.
Hari ini mau menulis tentang lingkungan ah.
Sepertinya bagus menulis puisi tentang politik, ada isu yang sedang hangat dibahas.
Sudah lama tidak menulis puisi romantis. Menulis puisi tentang apa ya bagusnya?
Kira-kira seperti itu pernyataan dan pertanyaan untuk memantik ide menulis dari dalam kepala. Selanjutnya? Seperti yang disampaikan Jokpin, kita cenderung lebih mudah blank dengan pendekatan seperti itu. Dan ini 100% benar, menurut saya.