Kalau semua agama benar, ya udah kamu masuk agama aku saja! Bagaimana?Â
Beberapa kali saya melihat cuplikan diskusi tentang agama di lini masa yang berakhir dengan kalimat demikian.
Ini membuktikan masih ada sebagian orang yang salah pikir dalam menempatkan frase "semua agama benar" pada konteksnya. Frase ini sendiri sebenarnya sangat relatif kebenarannya, tergantung dari perspektif mana kita akan melihatnya.
Belum lama ini frase tersebut kembali mencuat. Diucapkan oleh Pangkostrad, Letjen TNI Dudung Abdurachman saat melakukan kunjungan kerja ke Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/9) lalu. Pangkostrad memberikan pengarahan kepada anggota dan Persit Batalyon Zipur 9 mengenai bagaimana menyikapi hoax di media sosial dan mengindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama.
Sampai tulisan ini ditayangkan, kutipan pengarahan dari Letjen Dudung Abdurachman masih bisa ditemukan di akun Instagram resmi Pangkostrad, @penkostrad. Ucapannya demikian,
Bijaklah dalam bermain media sosial sesuai dengan aturan yang berlaku bagi prajurit. Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama. Karena semua agama itu benar di mata Tuhan.
Pada beberapa media sebenarnya cukup jelas diberitakan dalam konteks apa Pangkostrad menyampaikan statement tersebut.
Pangkostrad tidak berbicara dalam forum kajian ilmu agama atau sejenisnya, tapi memberi pengarahan kepada para prajurit untuk menjaga menjaga jiwa korsa terutama di tengah derasnya hoax yang bisa memprovokasi terjadinya fanatisme sempit dan menjadi sekat di antara prajurit yang satu dan yang lainnya. Dan menurut saya ini sudah tepat untuk disampaikan dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin.
Sayangnya, pernyataan "semua agama benar" tersebut memicu respon negatif dari sejumlah pihak, termasuk beberapa tokoh MUI dan Ketua DPP PKS. Pernyataan mereka sudah menghiasi media daring kita beberapa waktu lalu.
Untunglah Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sepakat dengan pernyataan Pangkostrad dengan argumen yang mudah-mudahan bisa lebih menjernihkan polemik ini. Menurut Yaqut, fanatisme perlu diarahkan ke diri sendiri untuk membuat pemeluk agama semakin teguh menjalankan agama yang diyakininya, tapi tidak perlu diarahkan ke orang lain, apalagi yang berbeda agama dan keyakinan.