Berdasarkan pengalaman saya, perasaan terdalam kita saat menyikapi sebuah isu atau masalah bisa menjadi amunisi yang baik untuk menciptakan sebuah puisi. Coba selami rasa dari puisi yang bertema lingkungan ini: Jalan Kedua.
Puisi ini lahir dari perasaan gereget karena sepertinya banyak orang yang cuek dan tidak menyadari kalau bahaya krisis lingkungan karena emisi gas rumah kaca sudah di depan mata. Dalam puisi ini "Jalan Kedua" berarti jalan perjuangan, sebuah jalan yang tidak mudah di antara arus utama gaya hidup dunia kita saat ini.
Kadang-kadang puisi juga lahir dari empati kita terhadap orang lain. Seperti contoh salah satu puisi yang terinspirasi dari kawan kantor saya. Suaminya yang seorang pelaut akan segera bertugas beberapa saat setelah mereka menikah. Ada perasaan haru, sedih dan asa yang campur aduk jadi satu dan sepertinya berhasil saya tuangkan dalam puisi ini: Pelabuhan Berwarna Tembaga.
Tapi jangan salah. Puisi juga bisa lahir dari peristiwa yang kelihatannya sepele. Seperti contoh puisi Lalat Dalam Cangkir Kopi.
Lalat yang jatuh dan meregang nyawa dalam cangkir kopi itu memang kejadian nyata. Sayang rasanya, karena cangkir kopi yang masih penuh harus dibuang sia-sia karenanya. Tapi hal itu lantas membangkitkan ide untuk menulis puisi dan menghubungkannya dengan kejadian tentang kuburan jenazah korban Covid-19 Â yang saat itu sedang populer beritanya.
Menyunting dari Kepala
Nah, setelah menulis dari hati berhasil kita selesaikan, proses berikutnya adalah menyunting tulisan tersebut. Kali ini kita mulai memberi porsi lebih banyak kepada "kepala" untuk bekerja.
Tentu saja rasa tetap dibutuhkan untuk menjaga "jiwa" puisi kita. Tapi karena sebentar lagi akan tayang, maka puisi harus didekorasi dengan sejumlah kaidah yang diperlukan.
Paling tidak, kesalahan tipografi harus bersih dari puisi kita. Setelah itu mulailah bermain dengan rima dan diksi.
Saya bukan penulis puisi yang selalu konsisten menggunakan rima. Kalau saat menyunting puisi rimanya berhasil disusun dengan baik, maka saya menggunakan rima. Tapi jika tidak, ya tidak perlu dipaksakan.
Saya lebih cenderung menghabiskan energi saat proses sunting pada pemilihan kata atau diksi. Puisi akan terasa lebih kuat dan berkarakter dengan pemilihan kata yang tepat. Sebagai contoh pada puisi tertentu kata "bentala" lebih sesuai digunakan daripada kata "bumi", kata "dara" lebih menimbulkan kesan daripada kata "gadis", kata "senja" lebih puitis dari kata "sore" dan seterusnya.