Jarum jam semakin menanjak ke angka 10. Aku sudah berada pada waktu kritis. Terlambat sedikit, aku akan melewatkan penerbangan malam ini. Napasku terengah-engah dan aku bersusah payah menahan jantung agar tidak melompat keluar dari rongga dadaku.
Biasanya sebelum pergi meninggalkan kotamu aku memberi dua ciuman. Satu di kening dan satu di bibirmu. Ciuman di kening tanda aku tidak ingin kehilanganmu. Ciuman di bibir tanda hanya aku yang boleh memiliki seluruh cintamu.
Tapi kali ini sepertinya aku hanya bisa memberi satu ciuman saja, atau malah tidak sama sekali. Aku harus mengejar penerbangan terakhir.
Lagi pula kening dan bibirmu saat ini terpisah jauh. Keningmu di atas meja rias dan bibirmu di kaki ranjang. Di antaranya, kekasih gelapmu terbaring telanjang dan kaku. Ada darah, ada darah di mana-mana. Di atas ranjang, pada cermin, pada kaca jendela, pada tubuh telanjangmu yang juga terbaring kaku, pada dinding kamar, pada pedang katana yang baru saja jatuh dari genggamanku.
Pikiranku kacau balau, seperti kapal pecah. Sekarang aku bingung, harus mengejar pesawat atau mencari nomor telepon yang berwajib. Maaf, kali ini aku tidak bisa memberikan dua ciuman untukmu.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H