Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Terawan Memang Lebih Cocok Jadi Praktisi daripada Menteri

22 Februari 2021   19:48 Diperbarui: 23 Februari 2021   09:40 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terawan dan Achmad Yurianto. Gambar dari tribunnews.com

Vaksin Nusantara menjadi topik populer di tengah upaya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19. Bukan saja karena saat ini kita memang sedang bergantung pada impor vaksin dari luar negara, tapi juga karena ada sosok Terawan Agus Putranto di balik proyek vaksin tersebut.

Pemberitaan tentang mantan menteri kesehatan ini memang selalu menarik untuk diikuti. Sebelum menjabat menkes, Terawan sudah menarik perhatian dengan metode DSA (Digital Substraction Angiography) untuk terapi brainwash pada pasien-pasiennya. 

Metode ini menuai kritik dari sejumlah koleganya karena DSA pada dasarnya adalah prosedur untuk melakukan diagnosis, bukan prosedur untuk terapi.

Tapi sekalipun demikian, pasien-pasien dr. Terawan terus berdatangan. Bahkan beberapa tokoh seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Hendropriyono dan Dahlan Iskan tercatat pernah menjadi pasien terapi brainwash dokter Terawan. Mereka pun memberikan testimoni positif pada hasil terapi.

Respon sebaliknya datang dari organisasi seprofesi. Pada tahun 2018 IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sampai menghentikan dr. Terawan dari keanggotaan IDI selama setahun, dengan alasan pelanggaran kode etik.

Tidak disangka-sangka,  Presiden Jokowi memberi surprise karena pada tahun berikutnya memilih Terawan menjadi menkes menggantikan Nila Moeloek. Pro dan kontra kembali mencuat.

Apa yang dicari seorang Jokowi dari sosok Terawan? 

Ini pertanyaan besarnya.

Sejumlah analisis pun bermunculan. Salah satunya (dan ini yang rasanya paling masuk akal) adalah Terawan dianggap bisa menjadi sosok yang tepat untuk menumpas perburuan rente di sektor kesehatan. 

Bau-bau mafia di sektor ini sudah lama terendus dan semakin tajam baunya ketika Erick Thohir mengeluarkan statement tentang permainan mafia global maupun lokal dalam impor alat-alat kesehatan dan bahan baku obat. 

Pengaruh para mafia membuat kita lebih senang menjadi pedagang daripada produsen. Padahal kita punya kemampuan dan sumber daya untuk itu.

Terawan bisa jadi sosok yang tepat membongkar permainan para mafia tersebut. Pria kelahiran Yogyakarta 56 tahun yang lalu itu tidak menjadi bagian dari partai politik tertentu. 

Di sisi lain, riwayat kurang akur dengan IDI juga bisa jadi faktor pendukung, karena dengan demikian Terawan relatif lebih steril dari conflict of interest jika harus berkonfrontasi dengan oknum-oknum dalam organisasi IDI.

Namun terjadi hal besar di luar perkiraan Jokowi dan kita semua. Pada awal tahun 2020 Terawan harus benar-benar membagi fokus dengan pandemi covid-19. 

Masalah yang satu ini benar-benar menguras perhatian dan sumber daya. Cakupannya lintas sektoral sehingga jika tidak dikelola dengan baik krisis kesehatan ini bisa berimbas pada krisis ekonomi, sosial budaya, hankam dan lain-lain.

Tidak ada satu pun pemimpin negara yang siap menghadapi musibah kesehatan ini. Bahkan negara-negara maju kelimpungan dibuatnya.

Dibutuhkan kemampuan manajerial yang luar biasa dibarengi dengan kemampuan komunikasi publik yang mumpuni untuk menangani krisis kesehatan tersebut. Sayangnya, dr Terawan kurang memiliki kemampuan dalam hal ini. 

Bisa dipahami, karena Terawan adalah tokoh yang cenderung nyentrik dan biasa melihat persoalan secara out of the box. 

Ini bukan hal yang negatif sebenarnya, hanya saja untuk menyampaikan kebijakan dan pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat dibutuhkan cara berkomunikasi yang sesuai. Harus lebih cermat dan bijaksana.

Oleh karena itu, setelah beberapa kali muncul di depan khalayak untuk menyampaikan rilis pers tentang update data Covid-19, Terawan mundur dan diganti oleh juru bicara Achmad Yurianto.

Terawan dan Achmad Yurianto. Gambar dari tribunnews.com
Terawan dan Achmad Yurianto. Gambar dari tribunnews.com

Seiring bulan berlalu, kurva Covid-19 tidak menunjukan tanda-tanda akan melandai. Kita melihat terlalu banyak simpul-simpul masalah dari sisi pemerintah sebagai regulator maupun masyarakat. 

Menkes sebagai komandan tertinggi pada sektor kesehatan pun menjadi sasaran tembak yang empuk. Penembaknya bukan saja kritikus murni tapi juga pihak-pihak yang memang selalu berusaha menjatuhkan Jokowi. 

Akhirnya, setelah mempertahankan sosok Terawan sekian lama, Jokowi pun melakukan reshuffle dan memilih Budi Gunadi sebagai penggantinya.

Sebagian dari kita mungkin berpikir kiprah Terawan khususnya dalam penanggulanan pandemi sudah berakhir. 

Tapi rupanya sebelum demisioner, Terawan telah diminta Jokowi untuk menginisiasi pembuatan vaksin dalam negeri. Vaksin Nusantara ini adalah buah karya dari tim yang dipimpinnya.

Beberapa klaim kelebihan vaksin Nusantara seperti lebih mudah untuk diproduksi secara massal sudah muncul di pemberitaan akhir-akhir ini, begitu pula dengan kritik dari sebagian pakar kesehatan. 

Sepertinya pro dan kontra memang sudah berjodoh dengan hasil kerja Terawan. Klaim dan kritik boleh disampaikan yang penting proses juga harus tetap berjalan. Saat ini vaksin Nusantara sudah memasuki uji klinis fase-2.

Semua pihak memang harus berkontribusi untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di tanah air sesuai kapasitas masing-masing. Tidak terkecuali untuk sosok Terawan, walaupun harus berkiprah di luar jabatan menkes.

Melihat fenomena ini, bisa disimpulkan sepertinya Terawan memang lebih cocok berjuang di jalur kerja yang lebih praktis: memimpin tim, meneliti, berkarya dan berinovasi. 

Cara berpikirnya yang kadang-kadang nyeleneh bisa lebih tersalurkan, dibanding memimpin kementerian yang lebih kompleks tantangannya, bukan saja tantangan manajerial tapi juga tantangan yang sifatnya politis.

Terawan lebih sesuai berkiprah pada scope tertentu yang lebih praktis tapi tetap strategis, dibanding berkiprah pada scope yang lebih luas tetapi ruang geraknya dibatasi oleh sekat-sekat birokrasi bahkan politis. Semoga kerja keras Terawan kali kita membawa berita baik untuk kita semua. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun