Kecupan pertama kujatuhkan di atas keningmu seperti embun yang jatuh dari daun pinus. Sejuk dan hangat sekaligus. Untuk sesaat semesta menjadi suatu noktah kecil di ujung mata yang terpejam.
Kamu mungkin sudah lupa rasanya. Ribuan detak jam dinding dan belasan kali kemarau membawa pergi sensasi cinta remaja. Nyaris tak ada yang tersisa.
Sampai kecupan kedua kulabuhkan di antara bibir delimamu. Seperti lebah yang menyesap madu di antara kelopak bunga. Untuk sesaat semesta menjadi suatu noktah kecil di ujung mata yang terpejam.
Tapi kali ini kemarau dan penghujan luruh. Tak ada lagi musim. Tak ada lagi detak jam dinding, bahkan detak jantung pun tidak. Semua berhenti bergerak.
Apakah kita telah mengecup kematian dan berada di surga?
Hangat matahari melelehkan malam. Embun berjatuhan dari pucuk-pucuk pinus. Kita pun membuka mata dan menyadari baru saja jatuh dalam racun nostalgia.
Ah, kamu harus segera kembali pada kehidupanmu sendiri. Aku juga.
---
kota daeng, 3 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H