Telapak kaki bukit berwarna hijau kemuning
di sana
seorang gadis memayungi kepalanya dengan caping bambu
sembari meniupkan senandung pada bulir-bulir padi yang diasuh matahari.
Dia lalu tersenyum malu-malu pada sungai kecil
sejauh selempar batu dari pematang Â
juga pada bunga pepaya yang berdansa dengan angin.
Angin
air
dan para penghuni lembah yang bersahaja
mereka sedang menggoda sang kembang desa
yang baru saja menyembunyikan sepucuk surat cinta
dalam saku bajunya.
Dua minggu lagi waktu panen raya
jika benar perhitungan para petani.
Saat malam tiba
gadis itu pun bercerita pada awan-awan
lalu menghitung malam-malam yang akan dilewati
dan jam-jam sepanjang jalan dari metropolitan ke desa
yang akan dibunuh sang kekasih.
Dia menutup jendela kamar
dan mendekap selendang pemberian
untuk penghibur hati dua minggu ke depan.
Asmara memang kadang begitu jahat.
Dia menciptakan rindu sampai menggebu
tapi enggan menghapus jarak dan waktu.
---
kota daeng, 25 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H