Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Jejak-jejak Karbon

10 Januari 2020   19:52 Diperbarui: 11 Januari 2020   02:58 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: www.nkrealtors.com

Udara terpanggang, tanah mendidih, lalu hutan di pesisir dan tengah benua jadi laut api, menelan jutaan margasatwa menjadi serpih.

Kita kehilangan. Kehilangan sebagian rumah, kehilangan sebagian kawan sesama penghuni bumi, kehilangan sebagian harapan, kehilangan tawa, kehilangan kata-kata.

Kita mengutuk matahari, tapi di sisi lain kita mengutuk hujan, bahkan kita ingin mengutuk Tuhan, mengutuk apa pun yang menyeruak di antara kaki kita. Sampai tersadar sesungguhnya kita sedang mengutuk diri sendiri yang meninggalkan dosa kelam di antara jejak-jejak karbon kita.

Tidak banyak yang sadar dan lebih sedikit lagi yang peduli. Semakin panjang jejak karbon yang kita tinggalkan, semakin tinggi temperatur rumah kita.

Lalu udara terpanggang, tanah mendidih, lalu hutan di pesisir dan tengah benua jadi laut api.

---

kota daeng, 10 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun