Air mata di ambang senja
awan-awan berarak menuju kaki semesta
anak petani meniup seruling dari tengah sabana
dan anak-anak perempuan menari memanggil hujan.
Atma dari pasir dan bebatuan sembunyi dalam desah bayu
terlalu kelu untuk harmoni lagu alam yang dulu
seperti nelayan yang kehilangan arah pulang.
Malam membeku tanpa rona
hanya dua kunang-kunang di rumpun seroja
yang ketiga pergi mencari arti cahaya
bahkan purnama tanpa paripurna.
Hampa
hanya berkawan hampa
dan nestapa telah mengukir dirinya
pada air mata yang tetes demi tetes luruh.
Â
---
kota daeng, 4 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H