Kita terjebak di antara nyanyian agape di ujung senja
dan angin buritan yang bertiup sepoi-sepoi.
Saat aku bertanya, masih berapa banyak lagi cinta untukku?
kamu memintaku menghitung setiap puncak gelombang yang berkejaran
bahkan burung camar tidak mampu membantu.
Lalu aku menyadari
pertanyaan yang sama harusnya kamu sampaikan padaku
tapi kamu selalu hanya diam bersahaja
membaca wajahku seperti membaca wajah kekasih lama
peradaban-peradaban di tepi realita
yang seringkali mengkhianatimu.
Aku tidak ingin seperti kekasihmu dahulu
memuja keindahan dan keelokan tubuh perawanmu
lalu merenggutnya dan meninggalkan noda hitam kelam
mengecup gurat-gurat bibirmu yang manis merekah
lalu menyemburkan bisa pada relung-relung hatimu.
Â
Aku ingin menjadi jantung hatimu
yang mencumbu setiap keindahanmu
seperti ketulusan yang mencumbu kebaikan
dan biarkan langit biru cemburu.
Aku ingin berpasrah pada setiap hela napasmu yang embuskan kehidupan
seperti tubuh yang menemukan jiwanya kembali
agar esok aku tak tergoda untuk mengkhianatimu.
Aku ingin menjadi pantai berpasir putih
yang dipenuhi pohon kelapa dan kedamaian
tempatmu berlabuh
jika esok kamu tergoda untuk berhenti mencintaiku.
Tapi seperti biasa kamu hanya diam bersahaja
membaca wajahku dalam diam
tanpa prasangka dan dendam
sebelum tangan-tanganmu mengantar bidukku kembali ke tepi realita.
Kamu selalu menemukan cara untuk memberi cinta
sedang aku masih terjebak di antara nyanyian agape di ujung senja
dan angin buritan yang bertiup sepoi-sepoi.
---
kota daeng, hari laut sedunia 8 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H