Mereka, orang-orang yang berdiri di bawah langit 22 Mei itu berwajah serupa. Yang berbeda hanyalah pakaian yang melekat di badan; pelindung kepala dan tameng, jaket lusuh, kaos bau keringat, sorban putih, sarung kotak-kotak dan rompi jurnalis.
Gedung-gedung strategis ditutupi kawat duri, seperti kepala yang menyembunyikan biji mata. Sesekali kawat duri unjuk gigi, seolah menantang orang-orang yang berdiri untuk telanjangi diri sendiri dan memilih peran terbaik sebelum terjadi tragedi.
Mereka, orang-orang yang berdiri dan berlarian di bawah langit 22 Mei itu berwajah serupa. Tapi seperti yang ditakutkan ibu pertiwi, tanpa letusan dan teriakan pilu, tubuh-tubuh berjatuhan. Aspal jalanan tertutup batu-batu yang menjerit dalam diam, matahari sudah tenggelam tetapi hati masih berkobar, kaca-kaca pecah, belingnya menggores pipi dan pelipis peradaban.
Mereka, orang-orang yang berdiri dan tertidur di bawah langit 22 Mei itu berwajah serupa. Mereka sedang menguji nyali melawan diri mereka sendiri, sebagian menguji nyali terhadap idealisme di ujung tanduk, sebagian lagi menguji nyali terhadap suara hati nurani yang terdengar menakutkan.
Mereka, orang-orang yang berada di atas langit 22 Mei juga menguji nyali. Bedanya, mereka sedang menguji nyali melawan semesta yang bahkan tak bisa mereka ukur kedalaman dan ketinggiannya.
---Â
kota daeng, 1 hari setelah 22 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H