Beberapa hari lalu, pada acara sosialisasi stiker Pemilu 2019, Menkominfo Rudiantara meminta salah satu peserta sosialisasi memilih desain stiker yang dianggapnya paling baik. Kebetulan alternatif desain yang diberikan hanya dua, jadi ibu yang dimintai pendapatnya memilih desain yang kedua, tapi alasannya karena terkait "keyakinan" politik, bukan karena masalah desain seperti warna, kontras dan lain-lain. Jawaban ini tentu membuat Pak Menteri terkejut dan menegur ibu yang bersangkutan. Imbas teguran ini sempat menjadi viral dengan naiknya tagar #YangGajiKamuSiapa menjadi trending topic di linimasa.
Bisa jadi si Ibu ini mungkin tidak terlalu paham dengan instruksi yang diberikan untuk memilih desain, karena kebetulan pilihannya hanya dua.
Tapi contoh kecil ini semakin membuktikan, fenomena pilpres yang berlangsung bulan April nanti telah sukses membuat dikotomi di (sebagian) masyarakat kita. Orang melihat segala sesuatunya dari sisi pilpres saja, 01 atau 02? Bahkan desain yang membutuhkan unsur pemikiran yang lain yaitu estetika jadi terdistorsi oleh pilihan politik.
Contoh lain, saya jadi anggota di salah satu grup whatsapp aktivis Koperasi di Makassar. Belakangan ini isi di grup semakin didominasi oleh kiriman tentang capres dan isu-isu yang mengekorinya. Kalau bukan kejelekan Jokowi, ya kejelekan Prabowo atau sebaliknya. Kiriman tentang hal-hal yang mestinya lebih sesuai dengan tema grup, seperti terobosan koperasi di masyarakat, produk-produk anggota koperasi atau tema yang lebih aktual seperti Rapat Anggota Tahunan justru minim sekali kehadirannya.
Segala hal pun jadi berbau pilpres. Posisi jari saat berfoto saja bisa jadi disalahartikan. "Nah, ini pendukung Prabowo!" atau sebaliknya.
Gempuran isu tentang pilpres, baik melalui media mainstream maupun media sosial, baik yang valid maupun yang hoax semakin mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Imbasnya bisa macam-macam. Yang paling kasat mata adalah masyarakat semakin rentan terhadap gesekan. Dua saudara bisa jadi tidak akur lagi gara-gara beda pilihan calon presiden. Suasana kerja di kantor yang mesti penuh profesionalitas menjadi terganggu karena beda pilihan calon pilpres. Banyak yang mesti unfollow (atau paling tidak membisukan) teman-teman dunia maya-nya karena merasa tidak sreg dengan postingan-postingan capres pilihannya yang ternyata berbeda.
Atau imbas yang lain, sebagian masyarakat jadi lebih memilih golput karena merasa tidak ada nilai yang bisa didapatkan dari kompetisi pilpres ini selain hujat menghujat antara kedua kubu.
Singkat kata, melalui tulisan ini saya ingin mengajak kita semua, para warganet, untuk tetap menggunakan akal sehat dalam menyikapi perbedaan pilihan politik. Perbedaan pilihan sangat wajar dalam alam demokrasi. Justru hal tersebut menunjukkan demokrasi kita masih berjalan pada rel yang semestinya. Tapi jangan sampai perbedaan dalam ruang politik itu menjadikan kita tersekat-sekat dalam ruang-ruang yang lain seperti karir, persahabatan, kekeluargaan, hobi dan lain-lain. Terlalu naif rasanya jika mengorbankan ruang-ruang kehidupan yang lain demi pilihan politik yang sifatnya temporary atau sementara saja.
Segala idealisme yang kita gantungkan pada pilihan kita adalah sesuatu yang masih akan terjadi pada masa depan. Paling tidak, masih akan terjadi tiga bulan mendatang, bukan? Jangan sampai mengabaikan hal-hal baik yang kita miliki pada kehidupan kita hari ini demi sesuatu yang sifatnya masih berupa kemungkinan di masa yang akan datang.
Mempromosikan pilihan kita sah-sah saja. Tapi gunakan cara-cara yang etis dalam suasana kekeluargaan agar tidak menimbulkan suasana kebencian satu sama lain.
Hanya dengan tetap menggunakan cara berpikir seperti ini, kita bisa tetap waras di antara serbuan konten produksi mereka yang menjadi mesin politik. Tidak bisa serta merta menyalahkan mereka juga, karena mereka hanya menunaikan job, seperti halnya pekerjaan kita sehari-hari.