Cerita tentang dewa asmara, Cupid, mungkin sudah biasa kamu dengar. Tapi tidak banyak yang tahu, Cupid sebenarnya punya saudari yang sama piawainya menembakkan panah-panah asmara. Dewi asmara itu bernama Inggrid. Dia baru saja membidik jantungku... dan berhasil, Saudara-saudara. Aku kini jatuh cinta dengan sukses tanpa sanggup bangun kembali.
Wajah Inggrid yang nyaris setengahnya tenggelam dalam kasur, bersemu merah membaca potongan chat yang dikirimkan Anggoro itu. Sejatinya Inggrid paham bahwa pesan itu secara intrinsik maupun ekstrinsik penuh rayuan maut, tapi entah mengapa dia tetap suka dan membiarkan dirinya terhanyut, seperti lebah mungil yang membiarkan dirinya terbelit sarang laba-laba.
Terbelit..
dan terus terbelit.
Apakah ini pertanda... cinta?
Jawabannya masih menggantung di langit-langit kelas tempat mereka, Inggrid dan Anggoro, menuntut ilmu. Keduanya adalah mahasiswa dan mahasisiwi akuntansi salah satu perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Anggoro sebenarnya lebih tua dua tingkat di atas Inggrid, tapi karena lebih banyak menghabiskan waktu di unit kegiatan mahasiswa, dia gagal lulus di banyak mata kuliah. Pada tahun akademik ini, dia pun lebih sering sekelas dengan Inggrid. Seiring kebersamaan itu, benih-benih asmara mulai tumbuh di antara mereka.
"Kamu tuh lebih cocok jadi pujangga daripada naik turun gunung, Mas!" seru Inggrid dengan mimik lucu. Saat ini keduanya terdampar di pojok kantin kampus ditemani dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh yang menanti pasrah.
Anggoro tertawa. "Loh, pencinta alam dan penyair itu punya banyak persamaan, Gid! Jangan dipertentangkan gitu," sahutnya.
"Kalau dipertentangkan sama akuntansi boleh nggak? Kamu lebih cocok jadi mahasiswa fakultas sastra atau kampus seni," sambung Inggrid lagi spontan.
"Yaah, kalau aku jadi anak sastra nggak bisa ketemu kamu dong, Giiiid!" Anggoro mencubit hidung Inggrid mesra.
"Halah, gombaaal..."