Di ujung senja, gempa tujuh skala richter telah menggetarkan sanubari, meluluhlantakan kewarasan dan menggoncang kemanusiaan. Rumah-rumah yang dibangun oleh mimpi dan keringat porak poranda setelah nelangsa. Lalu burung camar terakhir tinggalkan tepian yang bias karena sekatnya dihapus gelombang.
Kita pun menjerit di dalam kepompong belasungkawa dan menghirup sepuasnya aroma tragedi sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk air mata.
Tapi jangan hati sedingin tanah dan seputus asa bebatuan di dalamnya. Hempaskan energi duka jadi tarikan dan dorongan lempeng nurani. Tanah kaku pun jadi pembawa asa seperti arus muara yang menyibak apa saja yang menghalangi eksistensinya.
Selalu ada jawaban dari setiap misteri peristiwa, seperti cahaya yang menyeruak dari gelapnya subuh dan ikhtiar yang muncul dari dalamnya doa.
Kita boleh kecewa karena rencana tinggal rencana dan orang-orang tercinta telah menjadi gurat aksara masa lalu.
Tapi jangan hati sedingin tanah dan seputus asa bebatuan di dalamnya.
---
kota daeng, 5 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H