Setelah memberi salam, seorang Sufi bertanya pada matahari yang baru saja terbit, "Mengapa terburu-buru, Kawan?"
Matahari menyahut "Tidak, Sufi. Seperti biasa, aku tepat waktu pagi ini. Mungkin duniamu yang berjalan lebih lambat."
Sufi tersebut tersenyum, lalu memberi salam pada ayam jago yang baru saja melintas "Mengapa terburu-buru, Kawan?"
Ayam jago terheran-heran, "Lihatlah, Sufi. Matahari telah terbit, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan, bukan?"
Sufi tersebut tersenyum. Saat bertemu seorang pedagang yang menarik unta pembawa barang, dia melontarkan pertanyaan yang sama. "Apa kabar, Kawan? Mengapa terburu-buru?"
Si Pedagang membalas sapaan itu, lalu menyahut "Orang tua mengajar kami, anak-anaknya, untuk tekun mencari nafkah, Sufi. Kalau kesiangan, rejeki bisa dipatok ayam, kata mereka."
Begitulah, hari itu semua orang terburu-buru di mata Sang Sufi, sehingga menjelang senja dia kembali menyapa matahari, "Kawan, bisakah besok pagi kamu terbit lebih lambat dari biasanya, sehari saja. Agar orang-orang itu bisa ikut melambat, sehingga mereka lebih punya banyak waktu untuk merenung dan berkontemplasi."
Matahari tersenyum lalu menyahut, "Aku hanyalah akumulasi pikiran kalian, manusia dan penghuni semesta. Beritahulah kepada orang-orang itu agar bergerak lebih lambat, lebih sering merenung, lebih sering berkontemplasi, niscaya aku pun akan bergerak lebih lambat."
Sang Sufi mengangguk-angguk, "...dan kamu pun terbit lebih lambat dari biasanya?"
"Aku bahkan bisa bersinar sepanjang malam, jika kalian benar-benar menginginkannya."
***