"Politik dua kaki? It's so mainstream!"
Begitu ucapmu dengan nada pongah sore itu, usai berpetualang menyusuri megapolitan dan kita terkapar lelah di pojok salah satu kafe. Sambil menunggu Kopi Gayo diracik barista, pembicaraan kita pun mulai mengalir ke topik politik. Sebagai wasekjen sebuah parpol besar, topik ini berhasil kamu kunyah dengan enteng, seperti mengunyah popcorn manis pedas di atas meja. berbeda denganku yang seorang akuntan. Kami bergelut dengan angka dan data yang rigid sementara bagi kalian, angka dan data itu sangat dinamis.
"Maksudnya?" tanyaku lagi. "Aku baca di berita, analisis para pengamat seperti itu."
"Ah, memang itu kesan yang ingin kami tampilkan kepada masyarakat. Dengan dukungan beberapa tokoh di grassroot, terkesan seperti itu. Tapi tahu nggak?"
Kamu mengecilkan suara. "Kami punya sejumlah agen di parpol-parpol besar lainnya. Kesannya mereka adalah kader loyal di partai tersebut, tapi sebenarnya... mereka adalah informan kami."
"Spionase?" tanyaku dengan suara ikut mengecil.
"Bisa dikatakan seperti itu," sahutmu dengan volume suara normal kembali, lalu terkekeh kecil.
"Bukannya itu licik, Bro?"
Tawamu membesar. "Dalam politik itu namanya strategi, Bro. Dan senjata partai kami di lapangan sangat efektif berkat para agen tadi."
Aku hanya geleng-geleng kepala. Untung kita sudah berteman sejak SMA, jadi aku sudah hafal benar karakter pragmatismu. Dan karakter ini sepertinya semakin berkembang di lingkungan yang kamu geluti sehari-hari.
----