Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mengoyak Senja

30 Januari 2018   21:20 Diperbarui: 31 Januari 2018   03:56 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.thisburundianlife.bi/chronicles/

Bulan setengah purnama sedang bercakap-cakap dengan senja yang bermuram durja. Dengan setengah cahaya seperti ini, rembulan jadi lebih mirip lampion yang nyaris padam daripada lampu langit yang gagah perkasa. Tapi dia tetap berusaha menghibur senja yang kehilangan kerlip bintang-bintangnya, sejak ditinggalkan kekasih.

Sebentar lagi keduanya akan saling mengucapkan salam perpisahan yang pahit. Rembulan beranjak ke timur sedangkan senja beranjak ke barat, entah kapan bertemu kembali.

Kegetiran yang sama sedang melanda hati lelaki dan wanita di bawah awan berwarna tembaga. Awan-awan itu sedang menyeret selimut malam kembali ke langit.

Air mata meleleh di sudut mata wanita muda belia. Syal merah hati melingkari leher jenjangnya. Taman remang-remang tidak bisa menyembunyikan paras cantiknya yang kini ditutupi mendung kelabu.

"Mas Bram tahu kan, aku tidak akan memaksa. Seperti halnya aku tidak pernah memaksa Mas jatuh cinta kepadaku," tuturnya getir.

Lalu sepi menghanyutkan kalbu ke tengah rona senja sebelum lelaki yang dipanggil Bram itu buka suara.

"Ya, aku tahu. Tapi pertemuan kita ini membuktikan kamu belum rela melepasku, Ambar. Aku seperti musafir yang baru saja menemukan oasis, tapi kamu jadi angin yang membawaku kembali sini, ke tengah-tengah padang gurun tak bertepi."

Bram berdiri dari kursi taman dan memandang wajah Ambar lekat-lekat, seolah mencari sesuatu yang hilang di situ. Dia tidak akan menemukannya, sebab kini Ambar sedang menyembunyikan ketegarannya dalam-dalam.

Ambar meraih tangan Bram. Tapi Bram perlahan-lahan melepasnya kembali.

"Kita sudah terlalu jauh melangkah. Dan... aku tidak ingin semakin jauh."

Ambar terisak. Bram kebingungan, tapi dia berusaha tidak membiarkan hatinya larut dalam suasana melankolis ini sedikitpun. Beberapa helaan napas kemudian, Ambar berdiri dan menjajari Bram. Mata keduanya beradu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun