Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saya Tidak Akan Natalan di Monas

18 Desember 2017   22:00 Diperbarui: 19 Desember 2017   11:28 2306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Ada satu komoditi baru yang lebih seksi dari emas atau minyak. Apakah itu? Agama. Ya, di negeri ini isu tentang agama selalu jadi isu yang strategis untuk digoreng kesana kemari, karena selalu jadi trending topic di berbagai platform media dan bisa menggerakkan banyak orang.

Topik teranyar yang beberapa waktu belakangan ini cukup hangat diperbincangkan adalah acara Natalan yang akan diselenggarakan Pemprov DKI di Monas.  Sejak terpilihnya Gubernur Anies Baswedan, Monas memang menjadi terbuka untuk kegiatan agama.

Rencana ini memancing reaksi masyarakat, khususnya umat Kristiani. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang setuju dengan rencana ini mendasarkan argumennya pada semangat kebhinekaan dan diperbolehkannya Monas untuk kegiatan keagamaan sesuai keputusan Gubernur DKI, jadi sah-sah saja. Sedangkan mereka yang tidak setuju mengatakan lebih baik merayakan Natal dengan sederhana dan khidmat tapi ada juga yang cenderung mengaitkan rencana ini dengan politisasi agama.

Tulisan ini tidak bermaksud berpolemik lebih lanjut, melainkan sekedar reminder kepada pembaca tercinta sekalian khususnya yang sebentar lagi merayakan Natal. Hari Raya Natal yang dirayakan setiap tahun bukan saja sebuah momentum selebrasi, tapi juga momentum refleksi. Natal adalah peristiwa Sabda menjadi Manusia, kedatangan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat, menurut keyakinan umat Kristiani.

Dengan demikian kita harus mempersiapkan pikiran, hati dan sikap kita saat menyongsong hari Natal. Umat Katolik menyebut masa empat minggu sebelum Natal sebagai masa Advent yang menjadi masa refleksi untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.

Oleh karena itu, Natal mestinya jadi masa yang penuh kedamaian. Kita berusaha menghadirkan damai surga kendati masih berziarah di dunia ini, seperti petikan Lagu Silent Night berikut, "...sleep in heavenly peace". Jadi Natal mestinya bukan jadi sumber konflik baru di tengah-tengah kita. Jika lokasi pelaksanaan Natal saja membuat kita malah ribut satu sama lain, sepertinya kita telah mereduksi makna Natal jauh di bawah esensi yang seharusnya.

Jadi menurut saya, mau Natalan dimana pun tidak masalah asal disertai niat dan hati yang benar-benar tulus untuk merenungkan dan merayakan makna Natal. Mau Natalan di Monas silahkan, yang penting niatnya bukan mau show up. Mau Natalan di gereja juga silahkan yang penting niatnya bukan karena ogah Natalan di Monas.

Nah, saya sendiri mengatakan dengan tegas tidak akan merayakan Natal di Monas. Kenapa? Tiket Makassar-Jakarta harganya lumayan, pembaca sekalian. Budgetnya lebih baik digunakan untuk keperluan lain. Hehehe...

Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun