April hampir tiba. April tidak terlalu suka dengan bulan yang menyerupai namanya itu, bahkan cenderung bersedih karenanya. Dia memang akan merayakan ulang tahun pada bulan itu, sesuatu yang mestinya disyukurinya, tapi sekaligus dia harus mengenang kematian saudari kembarnya yang hanya hidup selama beberapa menit, sebelum maut menjemputnya.
April menyisir rambut kuning emasnya lalu mengepangnya menjadi dua. Simetris dan sempurna memantulkan cahaya matahari senja dari luar jendela.
Kalender meja di samping monitor komputernya memamerkan angka 29.
Satu minggu lagi hari besar itu tiba, batinnya.
April lalu mengambil sehelai kertas lalu memenuhinya dengan rangkaian kata. Sepuluh menit kemudian, kertas yang telah menjadi surat itu diletakkan di atas lilin yang menyala terang. Rosa membiarkan api melalap seluruh surat itu, menyulapnya jadi serpihan-serpihan karbon dan abu.
Pintu kamar terbuka dan wajah ceria Mama muncul. Wanita yang tangkas itu melangkah ringan sambil membawa nampan berisi coklat panas dan sepiring biskuit.
“PR kamu sudah selesai, Sayang?” tanyanya. Tapi ekspresinya berubah begitu meletakkan gelas yang masih mengepul itu ke atas meja. “Ada apa ini?”
Rosa buru-buru memadamkan lilin dan membersihkan serpihan yang mengotori meja belajarnya.
“Aku mengirim surat untuk Amber, Ma…”
Ibu terkejut. Tapi hanya sesaat lalu memeluk kepala putri kesayangannya itu,
“Sayang, kamu masih suka menulis surat untuk saudarimu di surga ya? Sudahlah, sudah mama bilang bukan kamu bisa berdoa bersamanya. Memang dia sudah dipanggil Tuhan selamanya, tapi dia masih selalu ada di sini, bukan?”