Di ujung malam yang senyap, Badrun dan Omes nyaris terlelap. Untunglah nyamuk-nyamuk yang patroli di sekitar pos ronda sudah kebal dengan obat anti nyamuk bakar yang diletakkan di sudut pos. Jadi nyamuk-nyamuk itu masih bisa menjaga kesadaran mereka berada di level siaga 4. Biar kalau ada maling masuk kampung mereka masih bisa bergerak cepat.
Akhirnya setelah waktu menunjukkan pukul satu dini hari mereka pun memutuskan untuk bergantian tidur.
Tetapi sebelum itu keduanya larut dalam pembicaraan serius.
“Mes, menurut kamu bagaimana sih Pak Kades kita yang baru ini?” tanya Badrun sembari menepuk nyamuk yang tiba-tiba nangkring di jidat kawannya. Omes yang kaget setengah mati pun marah dan balas menepuk jidat Badrun… pakai sendal kulit.
“Apanya yang bagaimana?” sahut Omes ketus masih menyisakan amarahnya.
“Ya itu, menurut kamu dia itu bagus gak sih?”
Omes keheranan.
“Loh, kalau gak bagus warga pasti gak milih dia, Oon!”
“Ya, tapi….”
“Tapi apa?”
“Kamu gak jengkel apa, begitu Pak Kades naik tunjangan kita langsung diturunkan?”
“Ooh itu. Bukan diturunkan, Badruuun. Tunjangannya tetap, hanya sebagian dipakai buat bayar BPJS kita sama keluarga. Sebagian lagi dipakai ngisi tabungan kita di koperasi, untuk masa depan. Selama ini mana ada? Kan malah bagus…!”
“Tapi mestinya kan gak usah dipotong dari tunjangan yang ada.…”
Nampak keduanya semakin sadar. Masih ada nyamuk yang mencoba-coba nangkring di jidat Omes, tapi Badrun takut bergerak karena sandal kulit yang kerasnya kayak batako masih melekat di tangan kawannya itu.
“Ya, kan gak segampang itu, Mes. Anggaran desa mesti diatur dengan baik. Dia pernah bilang tidak akan menelantarkan orang-orang kayak kita ini. Menurut saya sih, bapak Kades kita yang baru ini malah lebih joss dari yang lama. Lihat tuh, jalan-jalan desa diperbaiki, kalau ngurus apa-apa sudah gak pakai potongan ini itu lagi. Terus kita dikasih seragam baru, sepatu baru, istri-istri kita juga jadi suplair konsumsi kalau ada acara di kantor desa.”
“Ya, tapi….”
“Hush… kamu ini dari tadi tapi melulu.”
“Bukan gitu, Omes sa…”
“…atau gini aja deh, kamu makar aja. Nanti saya bantuin. Kamu jadi otaknya, saya jadi penontonnya.”
Kening Badrun berkerut.
“Bakar? Bakar apaan?”
“Makar, Oon, bukan bakar. Makar Itu upaya untuk menggulingkan yang lagi berkuasa, Drun. Mau gak?”
Badrung menggeleng.
“Gak ngerti! Kalau kambing guling, bakar-bakar kayak gitu saya ngerti.”
“Yee makanya! Jangan sok protes kalau makar ajagak tahu. Udah! Giliran kamu nih yang jaga. Sampai jam tiga, ya.”
“Iya, iya.”
Omes pun kembali menarik sarungnya dan menghempaskan tubuhnya dengan nikmat di atas balai bambu. Badrun menuang kopi dari termos ke dalam gelas lalu menyesapnya perlahan-lahan.
Hening sesaat.
“Mes?”
“Mm…”
“Makar itu ada hukumannya gak?”
“Nggak! Cuman masuk penjara doang….”
Glek!
Badrun kaget setengah mati sampai kopi panas dari gelas tumpah semua di dalam mulutnya. Refleks, dia pun memuncratkan kopi itu ke wajah Omes.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H