Wanita itu menyulam senja dengan derai tawa. Setelah itu mengoyakkannya kembali dengan bulir-bulir air mata. Ritual itu sudah bertahun-tahun dilakukannya dengan setia. Bahkan kejenuhan pun tidak sanggup lagi menghentikannya.
Sekalipun berkali-kali dikhianati, dia tetap menaruh credo pada suratan semesta bernama cinta. Dia tetap percaya bintang-bintang setia mengantarkan pesannya untuk sang kekasih. Sama halnya dia percaya bulan purnama selalu datang membawa pesan yang sama untuknya.
Ya. Selalu ada harapan dalam rupa lelaki yang sanggup membuka kembali pintu hatinya yang dahulu terkunci rapat. Lalu saat cinta berlabuh, jiwa wanita itu seperti kembali menyatu dengan raganya. Pipinya merona merah dan matanya mengerling malu-malu pertanda kehidupan kembali menyapanya. Lalu hari-hari terasa penuh harmoni seperti roman yang berakhir bahagia.
 Namun siapa yang mampu memastikan hati lelaki?
Saat kekasihnya sedang dimabuk cinta, dia selalu punya alasan untuk pergi dan berlabuh di lain hati.
Mungkin memang sudah takdir wanita itu untuk merasakan manis dan pahitnya cinta sekaligus. Menutup, membuka dan menutup pintu hati kembali.
Rambutnya pun dibiarkan memanjang, tak peduli pasir dan terumbu karang memenuhinya. Air matanya dibiarkan berderai-derai memenuhi lautan dan jiwanya dibiarkan meninggalkan raganya untuk menari-nari bersama camar di langit senja.
Tapi wanita itu tetap setia dan menaruh credo pada suratan semesta bernama cinta.
Dia tidak pernah mau menyalahkan takdir sekalipun takdir nyaris berkali-kali mengkhianatinya, membiarkan cinta datang dan pergi, meninggalkan kisah suka dan duka.
Dialah wanita yang menyulam senja dengan derai tawa dan menyoyakannya dengan bulir-bulir air mata. Â Kekasih datang dan pergi tapi dia selalu setia.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H