Begitu pula dengan pembentukan karakter tokoh-tokoh yang lain.
Bahasa yang digunakan juga mengalir, bahasa khas anak muda sehingga tidak membosankan. Ada kutipan-kutipan mutiara yang saya yakin adalah hasil permenungan pribadi penulisnya. Saya sendiri langsung jatuh cinta pada Aradhea begitu membaca inspirasi yang terletak pada awal kisah ini
Perumpamaan setiap manusia di dalam garis hidupnya adalah seperti semut kecil yang berjalan pada ranting yang bercabang dua. Di setiap cabangnya bercabang tiga, dan di setiap tiga cabang itu, bercabang empat. Hingga cabang ranting menjadi tujuhpuluh tujuh cabang.
Indah bukan?
Kemudian buat pembaca yang masih awam dengan cerita-cerita indigo, kisah Aradhea cukup membantu memahami bagaimana sebenarnya hidup seorang indigo itu.
Kelemahan
Mungkin yang menjadi catatan kecil untuk novel ini adalah masih ada sejumlah kecil kesalahan typografi (yang sayangnya tidak sempat saya catat). Tapi percayalah, satu dua kesalahan ketik tidak akan mengganggu keutuhan jalan cerita.
Kemudian bagi pembaca yang memiliki selera antagonis-protagonis yang kontras, Aradhea tidak akan memuaskan selera anda. Tokoh “jahat” Wahyu memang memiliki andil besar dalam konstruksi konflik pada hidup Lina tapi menurut saya masih perlu greget lagi. Termasuk tokoh mbah Waskita atau bahkan tokoh Aida yang awalnya saya pikir akan memberi rintangan ekstra untuk membuyarkan hubungan Ade dan Lina.
Tapi mungkin gaya penulisan seperti inilah yang membuat Aradhea menjadi unik dan lebih “manusiawi”.
Kesimpulan
Aradhea layak jadi koleksi mereka yang ingin mencicipi percintaan khas orang muda yang dikemas dalam kisah mistis dan supranatural. Manusia indigo yang mungkin jarang kita temui, dapat kita kenali dengan akrab dalam novel ini.