Malam ini bulan hampir purnama dan aku hampir lelah mencarimu. Untunglah aku bertemu peri malam yang baik hati. Dia menunjukkan jalan menuju ke bulan lalu memberiku ramuan dalam sebuah botol kecil untuk aku teguk.
Setelah menghabiskan isi botol, aku merasa seringan kapas. Aku pun menyusuri langit malam dengan awan-awan di kanan dan kiriku, dan menjadikan mereka pijakan untuk melayang lebih tinggi. Hingga pada akhirnya aku sampai pada permukaan bulan yang indah.
Dari atas sini bintang-bintang nampak lebih merona. Kabut kosmis bergerak seperti kawanan burung di musim peralihan. Ada juga aurora borealis yang mestinya hanya nampak dari kutub utara. Aku tiba-tiba merasa begitu betah di atas sini.
Lalu pandanganku tertuju pada pesisir bulan, kamu duduk termangu menatap awan-awan di bawah sana. Aku menghampirimu, lalu sebaris senyum pun tersungging di bibirmu.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku
Kamu menatapku malu-malu.
“Menunggumu, tentu saja. Mengapa begitu lama?”
Giliran aku yang tersipu.
Pertanyaan itu aku jawab dengan menggandeng tanganmu mendekati tepian bulan, mencari tempat bermesraan sambil menyaksikan semesta.
Kita lalu bertukar kisah tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Sesekali kita memandang bumi kita di bawah sana. Kamu tertawa lucu memandangi lelaki yang membawa boneka sebesar tubuhnya ke beranda rumah gadis yang dicintainya, lalu aku terpesona pada sepasang kekasih, kakek dan nenek yang sedang memadu cinta di bangku taman. Kamu menunjukkan salah satu rasi bintang yang mengukir inisial nama kita, lalu aku menunjukkan awan yang membentuk gambar sepasang hati.
Aku merasa semesta benar-benar sedang berpihak pada kita, sehingga keberanianku membuncah.