Hujan yang menari-nari di awal Desember, kamu ketinggalan kereta kali ini. Kamu tiba beberapa hari setelah aku dan dia kembali menjadi sahabat, seperti setahun lalu.
Tiga hari yang lalu, kami menunggumu, berharap kehadiranmu membawa keajaiban. Aku bahkan berdoa memanggilmu agar aku bisa kembali menatang jaket kulitku untuk memayungi rambut ikal dan wajah bulat telurnya, melindunginya seperti permaisuri sampai ke pintu taksi, seperti setahun lalu. Atau paling tidak dengan nyanyianmu aku bisa sedikit lebih tegar mempertahankan cerita cinta kami.
Hujan yang menebar lagu rindu, mengapa mengetuk-ngetuk jendela kamarku. Menyesalkah kamu? Atau kamu juga ingin menghiburku dengan kata-kata klise.
Ketukanmu semakin kencang. Apa yang sebenarnya kamu…
Frida??
Wajah bulat telur itu menghiasi jendelaku. Kasihan, setengah wajahnya basah oleh tarianmu.
“Ma… maaf, Boy. Aku ketuk pintu depan dari tadi, tapi mungkin gak ada yang dengar… Mm, henfon kamu juga gak aktif …,”
“Oh, iya,.. aku matikan. Mm… ada apa, Frid?”
Hujan, tersirat keraguan di matanya.
“Aku mau ngomong sesuatu,… kalau boleh.”
Ah, bodohnya aku. Mengapa jantung hatiku kubiarkan bimbang seperti ini?