******
Enam bulan lagi akan dilangsungkan pemilihan Walikota. Teror baru ini bisa jadi batu sandungan perjalanan politik Ernest yang berencana akan kembali mencalonkan diri. Arnold paham benar hal itu. Dia memang tidak pernah suka pada Walikotanya, tapi saat ini dia harus menjunjung tinggi sumpahnya sebagai aparat penegak hukum.
*******
Malam ini “instingnya” sebagai polisi membawanya ke Pike Hills, kawasan berisi apartemen-apartemen tua di pinggiran kota. Arnold meminggirkan Sedan silver antiknya lalu berjalan kaki sekitar 100-an meter ke basement sebuah apartemen. Dari situ dia naik lift sampai ke lantai lima, lalu melewati tangga darurat menuju ke lantai tujuh. Suasana apartemen benar-benar lengang. Sejauh ini dia hanya berpapasan dengan seorang wanita tua dan pengantar fast food.
Di depan pintu unit, dia mengeluarkan kunci, membuka pintu, dan berjalan gontai ke dalam kamar. Lalu kembali mengunci pintu, menyandarkan jas kulitnya ke atas kapstok dan menghempaskan dos Pizza ke atas meja tamu. Ruangan itu seperti tak terawat. Debu tipis terlihat di atas buffet, menutupi pigura-piguran dan menghampar di sepanjang karpet.
“Kamu terlambat, pak Kepala Polisi…,”
Suara berat datang dari arah pintu kamar tidur. Seorang pria bertampang menyeramkan bertubuh kekar muncul dan tersenyum memamerkan giginya yang sebagian keropos.
“Kamu membawa pizza favoritku..,”
“Memang….,” Arnold menyahut dan memandang kesal ke arah pria kekar yang kini sudah duduk di sofa dan memasukkan potongan besar pizza ke mulutnya.
“Sudah bertahun-tahun aku tidak makan pizza Old Hammer. Terakhir aku ingat mencurinya dari seorang kakek yang sedang menunggu bus kota. Ah, malang sekali nasib kakek itu…,” pria kekar sedikit bernostalgia, lalu kembali dengan rakus mengunyah pizza-nya.