Seiring perkembangan teknologi, peran uang tunai perlahan namun pasti, mulai tergantikan. Belakangan ini kita lihat para vendor pun makin giat melakukan inovasi pada sistem transaksi mereka. Sistem pembayaran tunai yang rawan selisih, rawan mark-up dan kurang praktis mulai ditinggalkan, beralih kepada sistem pembayaran non-tunai.
Pemerintah sebagai stakeholder dan regulator sebenarnya sejak 2010 telah menghimbau masyarakat untuk mulai menggunakan instrumen pembayaran non-tunai seperti kartu debit, kartu kredit dan transaksi melalui perangkat komunikasi. Namun Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) secara resmi digulirkan pada tanggal 14 Agustus tahun lalu. Pada saat itu MasterCard Advisor meluncurkan laporan bertajuk The Cashless Journey yang menghitung persentase transaksi non-tunai di sejumlah negara dibanding total transaksi. Indonesia baru mencapai kisaran 31%. Persentase negara kita masih di bawah Brasil (57%), Polandia (41%), dan Afrika Selatan (43%). Sejumlah negara yang perekonomiannya lebih maju, memiliki persentase lebih tinggi lagi. Misalnya Perancis (92%), Inggris (89%), Belanda (85%) dan negara tetangga kita, Australia (86%).
Transaksi yang biasa saya lakukan masih jarang yang masuk ke dalam rasio 31% tersebut. Sejauh ini, transaksi non-tunai yang dilakukan paling sebatas pembayaran tagihan via ATM. Transaksi non-tunai lain yang lebih sering saya lakukan adalah pembayaran menggunakan kartu debit. Penggunaan kartu debit sebisa mungkin saya lakukan pada tempat-tempat belanja yang telah menyediakan fasilitasnya seperti misalnya supermarket, restoran, toko furnitur dan lain-lain. Selain praktis dan simpel, kartu debit juga berfungsi untuk membatasi mobilisasi uang tunai.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah besar cukup beresiko. Bisa memancing niat jahat dari orang-orang disekitar penggunanya. Sudah cukup banyak tindak kejahatan yang terjadi di sekitar kita yang dipicu niat jahat pelaku setelah mengetahui korban membawa uang tunai yang banyak. Bandingkan dengan misalnya terjadi kecurian dan pencuri hanya menggarong kartu debit-nya saja, toh kartu tersebut tidak bisa diapa-apakan tanpa mengetahui nomor PIN kartunya. Kita kemudian hanya perlu melapor ke pihak kepolisian untuk meminta surat keterangan hilang, dan ke pihak perbankan saja untuk memblokir kartu dan memproses pembuatan kartu baru.
Dengan pembayaran menggunakan kartu debit, kita juga tidak perlu repot lagi mencari receh untuk mencukupkan pembayaran. Kasir toko atau tempat belanja pun tidak mesti konfirmasi macam-macam kepada kita sebagai pembeli, seperti minta izin recehannya didonasikan, apalagi dipaksa menerima kembalian permen. Sesuatu yang biasa terjadi dengan pembayaran menggunakan uang tunai.
Tak lama lagi kartu debit akan semakin berguna untuk memudahkan kita melakukan layanan e-payment lainnya. Seperti tagihan rumah sakit misalnya, atau pembayaran tol, parkir, tagihan-tagihan, bahkan belanja di toko-toko kecil dan transaksi lainnya. Saat ini konsep smart city yang mulai dikembangkan beberapa kota di tanah air juga akan mengintegrasikan kartu debit dan kartu berisi database kependudukan seorang warga. Dengan demikian, dengan satu kartu kita dimungkinkan untuk memiliki akses ke berbagai fasilitas publik termasuk transaksi keuangan.
Hanya memang karena Indonesia masih berada pada tahap permulaan, peran uang tunai belum benar-benar bisa tergantikan. Oleh karena itu saya masih selalu membekali diri dengan lembaran-lembaran rupiah di dompet. Biar nanti belanja di pasar tradisional, atau belanja dengan nominal kecil yang tidak bisa dilakukan dengan kartu debit, kita masih memiliki uang tunai untuk melakukan pembayaran.
Satu lagi, penggunaan kartu debit mesti diimbangi dengan kemampuan manajemen keuangan yang baik. Orang-orang yang sudah terbiasa bertransaksi dan mengelola uang tunai mesti pandai-pandai beradaptasi saat mulai menggunakan kartu debit atau instrumen transaksi non-tunai lainnya. Uang tunai nampak secara fisik, sehingga mudah untuk memantau pos-pos pengeluaran kita. Sedangkan belanja non-tunai seringkali membuat kita “keasyikan” karena tidak terasa . Tanpa disertai pencatatan yang baik, kita akan terkejut karena tahu-tahu deposit habis, sedangkan rencana belanja kebutuhan kita belum semuanya dipenuhi.
Jadi kesimpulannya, manajemen keuangan keluarga tetap harus dilakukan secara maksimal. Perbedaan transaksi tunai maupun non-tunai hanya terletak pada instrumen pembayarannya saja. Namun untuk meminimalkan resiko dan demi keefektifan belanja kita, tidak ada salahnya mulai beralih kepada instrumen pembayaran non-tunai. (PG)
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H