Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surga di Atas Kathmandu

27 April 2015   20:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari hampir masuk ke peraduannya. Semburat cahaya tembaga yang biasa merona, kali ini terlihat begitu pucat dan sayu. Deru kendaraan serta raungan pria dan wanita jadi seperti lagu requiem tak berkesudahan. Alam sedang berduka, selaras dengan pilu di hati Disha. Sudah dua hari ini, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.

Dua hari lalu, sebelum Kathmandu rata jadi debu, sepasang mata itu masih berbinar indah. Kenangan terakhir yang dilihat mata bening tersebut adalah pemandangan saat dia mengatar suami dan putri semata wayangnya di depan pintu rumah. Siang itu Hasim, suaminya bermaksud membawa Satya, putri mereka berdarmawisata ke menara Dharahara.

Saat mengaduk kari kambingnya sejam kemudian, bumi berguncang hebat. Kuah kari tumpah membasahi kompor dan lantai dapur. Beruntung, Disha masih sempat menyelamatkan diri keluar rumah. Gempa 7,9 Skala Richter yang hanya berlangsung beberapa waktu telah meluluhlantakkan semuanya. Rumah dan seluruh isinya, termasuk mimpi-mimpi tentang masa depan semuanya terkubur dalam debu.

Disha menatap hampa pada rumah mungil yang sudah lima tahun ini mereka tempati. Tatapannya bertambah kelam, saat warga yang selamat berlarian dengan tubuh tertutup debu beton dan menyampaikan kabar dari mulut ke mulut, kalau menara Dharahara saat itu juga rata dengan tanah.

Separuh penduduk Kathmandu berubah jadi jenazah. Mereka pergi bersama kobaran api, sisanya masih tertimbun di bawah reruntuhan. Rumah sakit-rumah sakit tidak bisa lagi menampung korban luka-luka.  Ratusan korban dirawat tak ubahnya seperti kucing yang ditelantarkan di luar rumah. Seumur hidupnya Disha baru sekalig ini mengalami sendiri tragedi yang menyayat-nyayat hati dan logika.

Untunglah pada hari kedua ini, keadaan mulai berubah. Kabarnya sinyal telekomunikasi mulai berfungsi. Kota juga mulai dipenuhi oleh wajah-wajah asing, pertanda bantuan dari negara tetangga telah berdatangan. Sementara itu semakin banyak jenazah yang berhasil dikeluarkan dari puing-puing.

Disha tidak kuat membayangkan jenazah suami dan putrinya berada di antara ratusan jenazah lainnya yang terkubur reruntuhan menara  Dharahara. Setelah itu dia pingsan berkali-kali karena harus menerima kenyataan kalau dua orang yang paling dicintainya itu harus pergi bersama asap kremasi bersama ratusan jenazah lainnya.

Sejak itu detik demi detik, menit dan jam berjalan begitu lambat. Disha melihat dunia seperti padang gurun raksasa yang begitu sepi dan kelam. Separuh jiwanya seolah pergi, bersama gempa tektonik yang memporakporandakan hampir seluruh Nepal. Dia tidak peduli lagi pada yang terjadi setelahnya, pada orang-orang yang menyeret tubuhnya kesana kemari. Ketika tersadar, tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah lapangan di tengah kota bersama ratusan tunawisma lain, berpayung tenda-tenda darurat dan bintang-bintang.

Terlalu pedih rasanya. Di tengah-tengah kegalauan mendalam, tiba-tiba angin malam membisikkan sesuatu di telinganya. Disha membelalak. Tangannya sekejab mengepal.

“Aku pasti sudah gila…..,” batinnya. Tapi tak urung, kaki-kaki jenjangnya melangkah meninggalkan tenda darurat. Perlahan tapi pasti, Disha tahu, di belakang  lapangan ada mesin genset raksasa yang siang tadi disediakan otoritas kota bersama lusinan jerigen penuh bahan bakar. Diri Disha yang lain merasa dengan beberapa tenggak saja, dia sudah bisa mengakhiri penderitaanya yang begitu dalam itu.

Disha berhasil melewati beberapa tenda, langkahnya diringi isak tangis pilu, suara yang sudah lumrah terdengar dua hari ini. Di tenda paling belakang, sepintas Disha dapat melihat seorang bocah perempuan berusia sekitar 8 tahun, sedang merapatkan kain selimut di tubuh seorang nenek renta yang terbaring lemah. Seperti tak cukup, bocah itu ikut melepas syal tebalnya untuk dilingkarkan ke leher si nenek.

Pandangan mereka bersirobok. Disha membuang muka dan mempercepat langkahnya. Tapi tahu-tahu bocah itu berlari menghampirinya..

“Bibi….. Saya minta tolong sama bibi. Bolehkah?” suara bocah mengalun dari bibir mungilnya.

Disha menatap geram, hampir tak sudi membuang waktunya untuk hal-hal lainnya. Tapi melihat rona senja yang terpantul dari mata bocah itu, Disha jadi luluh. Bagaimanapun juga, gadis mungil itu berhasil mengingatkannya pada Satya putrinya.

Disha mengelap air matanya, lalu setengah bersujud agar sejajar dengan bocah didepannya.

“Apa yang bisa bibi bantu, sayang? Siapa namamu?”

“Nama saya Karina. Bibi tolong temani nenek sebentar, Karina mau ke posko untuk memanggil suster. Badan nenek panas lagi….,”

Disha ragu.

“Bolehkah….,” pinta Karina lagi.

Akhirnya dengan berat hati Disha mengangguk. Dia lalu mengekor tangan Karian yang menuntunnya ke dalam tenda. Disitu kosong melompong. Memang ada sejumlah selimut dan sendal jepit, tapi penghuni tenda lainnya entah kemana. Setelah sampai, Karina lalu pergi meninggalkan Disha dan si nenek.

Disha pun memandang iba kepada nenek renta itu. Tangan nenek memberi isyarat agar Disha mendekat dan membantunya merapatkan selimut-selimut yang melilit tubuhnya. Sambil menolong nenek itu, Disha menegur pelan…

“Nama saya Disha, bu. Saya… lihat, cucu nenek begitu menyayangi nenek,”

Diluar dugaan. Nenek menggeleng kecil, lalu dengan suara serak dia menyahut.

“Karina bukan cucu saya, nak. Dia juga senasib dengan kita….. terpisah… terpisah dari orang-orang yang menyayanginya,”

Disha tertegun.

“Ayah dan ibunya…,” gumam Disha.

Nenek kembali menggeleng.

“Karina bilang ayahnya seorang guru. Sedangkan ibunya….. Karina menyaksikan dengan kepalanya sendiri apartemen mereka rubuh berkeping-keping. Saat itu Karina sedang bermain bersama kawan-kawannya, nak…. Sepertinya ayah Karina juga tidak terselamatkan lagi….”

Bulir bening kembali mengalir dari mata Dsiha.

“Dia begitu kuat,” isaknya.

Kali ini nenek mengangguk lemah. Disha pun menggenggam jemari nenek itu. Dia mengutuki dirinya habis-habisan. Semua orang akan diuji oleh penderitaan. Penderitaan akan membagi manusia menjadi orang yang tegar, dan orang yang menyerah. Tapi ketegaran bocah itu barusan menamparnya telak-telak.

Tak lama kemudian Karina datang bersama seorang wanita perawat. Wajah perawat itu kelihatan letih, tapi dengan sigap dia tetap mengeluarkan beberapa peralatan medis lalu mengambil alih posisi Disha untuk mengecek keadaan nenek.

“Makasih, bibi” ucap Karina.

Disha berpaling menatap Karina. Air matanya semakin deras mengalir, lalu dia melepaskan semua bebannya dengan memeluk tubuh mungil Karina lekat-lekat.

Karina pun membalas pelukan Disha. Dari dalam hangatnya pelukan itu Karian bertutur lirih,

“Mama juga suka memeluk saya seperti ini…..,”

Disha lalu melepas pelukannya dan menatap penuh arti ke wajah Karina.

“Karina… kamu boleh memanggil bibi dengan panggilan mama….,”

Karina balas menatap, mencari kesungguhan ucapan Disha itu dari matanya.

“Bolehkah…?”

Disha mengangguk.

“Nenek bilang mama saya sudah pergi ke surga,…. Papa juga. Tapi saya senang kalau bibi mau jadi mama saya, mama di surga juga pasti juga senang…,”

Disha mengangguk lagi, kali ini gurat senyum mulai nampak di bibirnya.

“Saya punya putri seumuran kamu, sayang…. Dia juga sudah pergi ke surga sekarang…,”

Kedua wanita itu kembali larut dalam pelukan hangat.

Matahari telah sepenuhnya berganti menjadi potongan rembulan pertanda malam telah merajai langit Nepal. Relung-relung elegi memang tidak mudah untuk pergi, tapi selalu ada harapan bagi mereka yang mengisi hatinya dengan ketabahan dan ketulusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun