Pical Gadi No. 44
Kantin fakultas ekonomi setengah terisi siang ini. Pada salah satu meja, Fahmi sedang memamah biak roti daging dengan nikmat. Di hadapan Fahmi, Jefri kelihatan kewalahan menghabiskan isi mangkok bakso di depannya.
“Makanya, lain kali kalau naroh sambel itu diukur-ukur… jangan asal crot aja,” omel Fahmi.
“Iya, bawel! Kalau gue tahu sambelnya pedes gini juga gak bakal dibanyakin,” sahut Jefri sengit sambil mengelap keringat yang apel di jidatnya.
Saat itu mata Jefri tertuju ke arah pintu kantin. Posisi duduk Fahmi membelakangi pintu, sehingga Jefri mencolek Fahmi, memberi isyarat untuk ikut menoleh.
“Putri tuh…,” ucapnya pelan.
Fahmi refleks berhenti mengunyah. Dengan mode slowmotion dia berbalik ke arah pintu.
Seorang mahasiswi berwajah oval putih, berambut lurus panjang, nampak manis dengan jaket jeans, masuk dan melambai pada beberapa mahasiswi lainnya di pojokan kantin, sebaris dengan meja Fahmi dan Jefri. Lalu dengan anggun Putri melangkah melewati meja demi meja menuju kesana.
Fahmi hanya terpana menyaksikan gerak-gerik cewek pujaan hatinya itu.
Eh, sepertinya tadi sekejab Putri melempar lirikan manis ke arahnya. Atau, mungkin tidak. Fahmi mengucek-ucek matanya. Begitu dibuka kembali, Putri sudah duduk di antara kawan-kawannya. Mereka nampak asyik, bak reuni ibu-ibu arisan yang sudah setahun tidak ketemu. Fahmi mendengus panjang, tadi dia mungkin salah sangka saja.
“Kalau memang elo ada hati sama Putri, ditunjukkan dong. Jangan dipelototin dari jauh aja,” Jefri mulai lagi.
“Susah, bro! Kompetitor gue banyak banget. Putri itu pinter, cantik, punya banyak temen. Banyak cowok yang naksir dia…,” Fahmi menyahut lesu.
“Tapi buktinya sampai sekarang dia masih betah ngejomblo kan? Artinya dia belum menjatuhkan pilihan”
Fahmi diam-diam membenarkan.
“Paling tidak elo action dulu. Baru ketahuan kemungkinannya.”
Fahmi menatap Jefri yang terus mengoceh sambil mengaduk-aduk kuah baksonya. Kadang-kadang kawan satu ini cocok jadi konselor percintaan. Herannya, dia sendiri masih saja jomblo sampai sekarang. Samar-samar memori Fahmi membawanya ke peristiwa tiga hari lalu.
****
Saat itu ada kuliah umum mengenai Jurnalisme Warga di auditorium kampus. Fahmi hampir “berhasil” mencuri perhatian Putri. Di auditorium yang nyaris sesak, Fahmi dengan segala perjuangan akhirnya mendapat bangku tepat di belakang Putri.
Setelah kuliah umum berlangsung beberapa waktu, Putri seperti kebingungan. Dia lalu menoleh ke cowok di sebelah kirinya. Fahmi bisa mendengar penyebab kebingungan itu.
“Don, lu punya pulpen lebih gak? Tinta pulpen gue abis nih, gak bawa cadangan lagi!”
“Oh, bentar ya…”
Cowok itu serta merta mengaduk isi tasnya.
Kesempatan itu pun tidak disia-siakan Fahmi. Dengan sigap dia menyodorkan ke depan pulpen yang sedang dipakainya. Tapi olala…., di saat yang bersamaan ada lima mahasiswa cowok lain yang melakukan hal serupa. Putri pun bingung, pulpen yang disodorkan di hadapannya banyak sekali.
Dia mencomot salah satunya, itu pulpen Fahmi. Hanya saja Putri mungkin sedikit keliru, karena ucapan thanks-nya malah diucapkan ke mahasiswa lain. Sampai kuliah umum selesai, dia tidak pernah menoleh ke belakang lagi.
Fahmi makin galau jadinya. Dia juga ragu-ragu untuk bertegur sapa lebih lanjut…. sampai Putri benar-benar menghilang di antara keramaian peserta kuliah.
*****
Fahmi terkesiap lagi, rasanya Putri melihat lurus ke arahnya, tersipu lalu kembali larut dengan kawan-kawannya.
“Rasanya Putri ngelirik gue deh!”
Jefri ikut melihat ke arah Putri dan kawan-kawannya. Tidak ada tanda-tanda. Dia pun menggeleng pelan…
“Udah, bro…! Jangan terlalu lama main petak umpetnya. Kamu itu pinter, baek, mm… cakep juga. Kamu punya modal. Kamu bakalan nyesel seumur hidup kalau dia sampai digaet orang sebelum kamu menunjukkan perasaan kamu…”
“Cakepnya gak usah pakai juga…”
Lalu begitu hendak menghabiskan potongan terakhir roti dagingnya, Fahmi kembali melihat sinar dari mata Putri. Begitu bening dan hangat, lurus ke arahnya. Fahmi yakin dia benar-benar tidak salah kali ini. Putri malah sekarang melebarkan senyum sambil mengangkat tangan dan melambai ke arahnya.
Tiba-tiba Fahmi merasa kram otot. Dia bingung harus balas melambai? Atau tersenyum? Atau bagaimana….
Lalu terjawablah misteri manis itu. Rupanya Putri sedang melambai ke arah dua kawannya yang juga baru masuk ke kantin, tepat di belakang Fahmi. Mereka kini ikut menambah keramaian di meja Putri. Fahmi langsung lemas. Jefri langsung nyengir kuda mengetahui peristiwa barusan.
Sayup-sayup mereka bisa mendengar potongan obrolan dari meja cewek-cewek itu.
“…jadi gak ke twenty one?”
“Jadi dong…”
“jalan sekarang yuk,..”
“Tehnya biar gue yang bayar…”
Lalu cewek-cewek itu pun meninggalkan meja mereka dan berjalan beriringan ke pintu keluar. Fahmi tidak berani melirik Putri lagi. Dia masih merasa malu dan bodoh mengingat kejadian tadi.
Begitu rombongan cewek itu melintas, tahu-tahu Putri mampir dan meletakkan kertas warna kecil di depan Fahmi. Sekejab saja lalu Putri kembali bergabung dengan kawan-kawannya keluar dari kantin.
Jefri cepat-cepat memutar meja untuk ikut membaca isi kertas tersebut. Di atas kertas warna ada tulisan pendek seperti ini
Sorry, belum sempat balikin pulpen kamu. Nomor HP aku 081934398430. Telepon ya.
Fahmi menatap penuh arti. Perasaanya campur aduk antara bingung dan senang. Jefri pun menepuk bahu kawannya.
“Dia tahu kamu pemalu jadi dia maju duluan. Jangan disia-siakan…”
“Nggak bakalan, bro!” kali ini Fahmi menyahut mantap.
______________________________
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H