Dalam kaidah manajemen keuangan, kita mengenal istilah opportunity cost atau biaya peluang. Secara praktis opportunity cost dapat diartikan sebagai biaya yang harus kita tanggung akibat memilih suatu peluang dan mengabaikan peluang yang lain. Sebagai contoh: Anda memiliki uang Rp 2.000.000,- saat ini. Dengan uang itu anda dapat memilih untuk membeli sebuah sepeda atau menabung uang tersebut. Jika anda memilih untuk membeli sepeda, maka anda kehilangan peluang untuk menabung uang tersebut. Jika seandainya anda menabung uang tersebut pada tabungan dengan bunga 5% per tahun, maka tahun depan uang anda sudah bernilai Rp 2.100.000,- bandingkan dengan sepeda yang tahun depan nilai ekonominya malah menurun. Artinya dengan memilih untuk membeli sepeda, maka opportunity cost-nya adalah anda kehilangan peluang investasi sehingga uang anda bernilai Rp 2.100.000. Sebaliknya, jika anda memilih untuk menabung uang tersebut, anda akan kehilangan peluang untuk membeli sepeda. Opportunity cost-nya adalah anda kehilangan kesempatan untuk berolahraga dengan sepeda (menghemat biaya kesehatan jangka panjang) atau mungkin kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya transportasi.
Pada umumnya perhitungan opportunity cost digunakan pada manajemen keuangan industri yang memiliki beberapa produk untuk menghitung alokasi sumber daya yang digunakan dengan jenis-jenis produk yang dihasilkan. Perhitungan ini menjadi penting saat memprediksi produk-produk apa saja yang sedang diminati pasar agar biaya produksi lebih efisien dan efektif.
Namun kali ini kita akan mengaitkan opportunity cost dengan manajemen keuangan keluarga atau pribadi sehari-hari. Dari contoh di awal tulisan tadi, kita dapat melihat bahwa semua keputusan keuangan sebenarnya menghasilkan opportunity cost sebagai konsekuensinya. Semakin banyak alternatif pilihan yang dapat kita pikirkan, semakin bagus untuk membuat pilihan kita lebih efektif dan efisien, namun konsekuensinya semakin banyak pula peluang yang kita lewatkan. Nah, untuk meminimalkan opportunity cost yang harus ditanggung, kita harus memiliki tujuan keuangan sebagai panduan untuk menentukan keputusan-keputusan keuangan sehari-hari.
Tujuan keuangan adalah rencana-rencana kehidupan kita di masa depan yang memiliki konsekuensi keuangan. Tujuan keuangan pun dibagi lagi menjadi tujuan keuangan jangka pendek (rentang waktu satu sampai dua tahun atau lebih singkat) dan tujuan keuangan jangka panjang (tiga sampai lima tahun atau lebih lama). Contoh: Tujuan keuangan anda adalah menyekolahkan anak lima tahun lagi, membuka usaha catering tiga tahun lagi dan jalan-jalan ke tempat liburan di luar kota pada akhir tahun. Menyekolahkan anak, dan membuka usaha catering bisa dikategorikan sebagai tujuan keuangan jangka panjang dan liburan akhir tahun adalah tujuan keuangan jangka pendek. Dengan memiliki tujuan keuangan seperti itu, sekarang anda memiliki panduan setiap kali mengambil keputusan keuangan. Misalnya: Saat menyisihkan pendapatan anda untuk menabung, maka tentu anda harus memberi prioritas pada tabungan untuk liburan akhir tahun yang kejadiannya tak lama lagi. Saat anda ditawari pada berbagai instrumen investasi jangka panjang, sebaiknya anda lebih memilih produk investasi yang cocok untuk kebutuhan pendidikan anak. Anda juga harus mulai mempertimbangkan mempelajari panduan untuk membuka usaha catering, membeli buku-buku resep, mengikuti kursus masak dan lain-lain.
Dengan panduan tujuan keuangan seperti ini kita jadi memiliki dasar lebih kuat untuk mengambil keputusan-keputusan  keuangan. Memilih opportunity cost yang sesuai pun pada akhirnya bukan lagi perihal menghitung untung rugi semata.  Memilih opportuniy cost menjadi salah satu seni mengelola keuangan kita sekaligus mengelola kehidupan kita.
Have a nice weekend. Salam Kompasiana (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H