Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pamrih Bisa Jadi Bibit Dosa

21 Januari 2014   17:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bumi ini bakal jadi tempat paling indah sejagad raya kalau saja semua orang mau menabur kebaikan seperti matahari. Lihat matahari kita. Dia memancarkan cahaya dan panas tanpa pamrih ke seluruh penjuru semesta, tak peduli dengan memancarkan energi maha dahsyat itu dia sebenarnya sedang membakar dirinya sendiri sampai habis, sampai paripurna tugasnya.

Saya pribadi masih sulit mengingat kapan terakhir kali berbuat kebaikan tanpa mengharapkan “sesuatu” sebagai imbas hasilnya. “Sesuatu” itu tidak mesti kasat mata. Harapan, angan-angan dan kata-kata yang kita harapkan dari  orang yang menerima kebaikan juga berarti “sesuatu” bukan?

Suatu hari kawan kantor meminta bantuan pinjaman duit kepada saya. Kebetulan saat itu saya juga lagi ada, jadi saya bersedia membantunya. Sebagai rekan seperjuangan kita mesti tolong menolong dong. Siapa tahu besok-besok saya yang mengalami masalah, kepada siapa lagi saya harus meminta tolong kalau bukan kepada kawan-kawan saya.  Itu pikiran spontan saya. Tapi setelah dipikir-pikir, apa sebenarnya motivasi saya menolong? Apakah karena merasa memang wajib membantu kawan yang kesusahan atau saya mengharapkan sesuatu di balik pertolongan itu?

Ternyata dalam skala tolong menolong yang kecil pun motivasi kita berbuat kebaikan seringkali terdistorsi dengan letupan-letupan keegoisan kita. Walaupun kita sedang mengarahkan energi untuk menolong orang lain, ujung-ujungnya kita malah balik memikirkan kepentingan diri sendiri.

Lalu bagaimana bisa jadi bibit dosa? Untuk menjawab itu saya narasikan sebuah kisah. Kisah ini berangkat dari realita yang ada, hanya bagian ending-nya saja saya beri sedikit sentuhan fiksi. Jadi harap membacanya dengan tenang, dear kompasianer.

Seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati,  sebut saja namanya Bram, mendapat tawaran dari seorang negarawan yang punya cita-cita luhur dan mulia untuk Indonesia tercinta. Negarawan tersebut bersama laskarnya membangun sebuah rumah bersama, sebuah partai baru yang langsung mendapat respon hangat dari masyarakat. Sebut saja nama partainya X. Pak Bram pun diajak untuk ikut serta membangun rumah bersama tersebut. Jiwa pak Bram terbakar oleh idealisme partai dan mulai bekerja keras tak kenal lelah membesarkan partai X. Sebagai  partai muda, tentu infrastruktur partai masih banyak yang harus dibenahi dan dikembangkan. Pak Bram pun mengorbankan tidak saja pemikiran dan waktu tapi juga tenaga dan materi untuk partainya.

Setelah sekian lama berjalan, partai X semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Kaderisasi berjalan baik dan Pak Bram pun didaulat menjadi ketua DPD. Tapi kaderisasi menjadi belati bermata dua untuk pak Bram. Setelah kemimpinan partai berjalan satu periode, tumbuh banyak potensi pemimpin baru dari dalam partai. Mereka adalah orang-orang muda, energik, berpikiran terbuka dan lebih suka menghadapi tantangan. Pak Bram sebenarnya masih ingin mengecap indahnya kepemimpinan karena dia merasa masih banyak cita-cita partai yang belum tercapai maksimal. Apalagi gaung partai X semakin terdengar di seantero nusantara. Tapi nampaknya angin sudah berubah haluan. Orang-orang partai lebih memilih generasi baru ketimbang pak Bram untuk memimpin periode berikutnya.

Saat yang lain larut dalam keriaan pesta pelantikan, pak Bram malah berduka. Dia merasa orang-orang itu telah mengkhianatinya.  Dia merasa tidak ada lagi yang menghargai keringat dan pengorbanannya membesarkan partai. Lalu seperti kilat yang membelah langit, seketika itu juga idealismenya berubah 180 derajat. Dia tiba-tiba merasakan amarah yang menyala-nyala di dalam dirinya. Amarah itu harus disalurkan, jika tidak dia bisa terkena penyakit stroke mendadak. Dia pun menyorot tajam kepada anak muda yang kini tengah gembira merayakan kemenangannya menjadi ketua DPD yang baru. Yah, anak muda itulah sasaran tembaknya. Tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Pak Bram orang yang berpengaruh, berkuasa dan kaya. Jadi dia bisa berbuat apapun yang dia inginkan untuk membalas kekalahannya.

Nah, pada awal kisah, kelihatannya Pak Bram adalah contoh sempurna orang yang memperjuangkan kebaikan dan idealisme tanpa pamrih. Padahal batas antara pamrih dan tidak pamrih itu setipis kulit bawang. Batas itu hanya akan teruji begitu keadaan berbalik. Dari kaya jadi miskin, kalah jadi menang, di atas jadi di bawah, budak jadi orang merdeka, pemimpin menjadi pengikut dan pemberi bantuan jadi orang yang butuh bantuan. Saat pak Bram merasa tersisihkan, wataknya berubah seketika. Dari seorang pemimpin yang dihormati ternyata bisa jadi seorang pendendam yang gelap mata. Artinya pak Bram sebenarnya berbuat kebaikan dengan mengharapkan “sesuatu”, bukan murni untuk membangun dan mengembangkan rumah bersama. Kalau tidak ada pamrih, mestinya dia lebih legowo memberi kesempatan kepada orang muda untuk meneruskan perjuangannya. Dia harusnya ikut bergembira menyambut pemimpin baru partai.

Bibit-bibit dosa akibat pamrih akan bertumbuh begitu harapan si pemberi kebaikan tidak terpenuhi dalam diri si penerima kebaikan. Manifestasinya bisa macam-macam. Ada orang yang suka menyumpahi orang lain atau berdoa agar orang lain secepatnya disambar kereta api. Padahal baru berpikir negatif saja sudah dosa, apalagi kalau benar-benar mengeksekusi pikiran-pikiran tersebut.

Inilah yang terjadi pada orang yang berbuat kebaikan dengan pamrih. Pemuda yang menolong seorang gadis agar cintanya terbalas, pengusaha yang berbuat baik kepada kepala daerah agar proyeknya diluluskan, public figur yang menyambangi panti asuhan biar diliput media dan seabrek contoh lain. Tapi bukan berarti perbuatan-perbuatan baik mereka itu salah. Perbuatan baiknya sudah benar, motivasinya yang keliru.

Perbuatan baik yang dilandasi motivasi tulus untuk menolong dapat dilihat pada seorang ibu yang penuh cinta membesarkan anak-anaknya, tuan rumah yang memberi tumpangan gratis kepada orang asing yang kemalaman atau seorang pemuda yang membantu bapak tuna netra menyeberang jalan.  Perbuatan baik mereka tidak dilandasi kepentingan macam-macam.

Dengan memiliki motivasi demikian, orang-orang bisa berbuat baik dengan lebih nothing to lose. Jika besok-besok perbuatan baik mereka tidak terbalas, ya tidak ada masalah. Biarlah nanti amal kebaikan itu dibalas oleh Tuhan yang empunya kehidupan ini. Eh, itu juga namanya ngarep ya? Berarti pamrih juga. Tapi kalau pamrih sama Tuhan rasanya bisa jadi pengecualian dalam hal ini.

Akhirnya kita akan semakin menemukan makna kebersamaan jika semua orang berbuat baik tanpa pamrih kepada sesamanya. Walaupun memang rasanya sulit diamalkan, tidak ada salahnya mulai mencoba dengan hal-hal kecil kepada orang-orang terdekat kita.

Mari jadikan dunia tempat yang lebih indah dengan menabur kebaikan. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun